oleh : Nur Umar, S.E (Ahonk)
Langit begitu gelap dengan taburan kebencian terhadap bumi yang gersang, dua kutub yang saling menjanjikan hal lain bagi para penghuninya dengan segala bentuk kemalangan dan kesengsaraan tiada berpangkal, pada ritme waktu yang tidak ditentukan semua penduduknya berlomba mewarnai langit dengan sekujur kemalangan yang tak berujung, menghiasinya dengan asap serta polusi kebencian, sehingga tiada lagi keinginan untuk beristirahat dan kedamaian, sebab hal itu hanya menimbulkan ketidakadilan [i] bagi sapa saja manusia yang memelihara ketamakan serta kerakusan di dalamnya. Dari gumpalan asap yang silih berganti dengan alur tak begitu jelas, seperti menyampaikan pesan kebencian terhadap manusia lainnya yang hidup dengan tuna-bahagia, yang menggerogoti bibir pantai hingga abrasi tak bisa dihindarkan, yang memangkas hutan sebagai asumsi bahwa seolah mereka adalah seorang juru barber shop piawai dalam mengeksploitasi ruang untuk hidupnya sendiri, serta tanpa disadari mereka telah melakukan pembunuhan semi-sengaja yang implikasinya akan dirasakan nanti saat bencana menyapa, dan semuanya saling menuduh dan klaim pembenaran serta menjatuhkan lawannya yang sama dengan muslihat hebat.
Seorang gadis kecil dan malang tersungkur dalam himpitan asap
keserakahan berbalut kesombongan. Dengan serta merta ia ingin mengutuki mereka
yang telah berhasil merampas hak-haknya untuk hidup dimasa depan dengan penuh
kecerian, kebahagiaan, serta kedamaian. Akan tetapi kebahagian itu ia rasakan
semu di depan manusia yang hyper-konsumtif dan menafikan mereka yang tak
berpunya serta terlalu papa meski untuk berjalan di atas bumi yang terlalu
apatis ini. Namun gadis kecil itu selalu mengiang-iang kata yang tepat dari
seorang Sade bahwa “kesunyian adalah kekuatan” yang di dalamnya ia bisa
berkontemplasi dengan diri di dalamnya, dapat berdialog dengan alam kosmos yang
memang memiliki mimpi yang sama dengan dirinya, kadang ia berpikir bahwa orang
yang membenci kematian dan tuhan kematian, yang putus asa atas kehidupan
pribadinya, ingin membebaskan dirinya dalam kekealan spesies manusia, namun di
sisi lain ia berpikir pula bahwa selama kelompok itu (si tamak dan si sombong)
masih mendominasi dunia dan selama spesies itu tidak memerintah, maka kematian
memang di perlukan[ii].
Kegelisahan demi kegelisahan serta
kemalangan selalu diterima oleh si gadis kecil itu, betapa tidak, ia harus
sempoyongan memapah beban yang memang belum seharusnya menjadi beban bagi
gadis semungil itu, sebab semenjak ia belia harus menyaksikan berbagai
konspirasi yang memang akan mencelakakan hidup dan kehidupannya kelak. Tak
paham bagaimana ia mempersepsikan cinta, kebenaran, kebaikan dan apa yang di
sebut Tuhan yang begitu banyak dan beragam konsep tentang Tuhan itu, walau ia
tau bahwa Tuhan memang satu, kemudian apa yang dilakukan si tamak seolah
sepertinya ia juga memang sedang menyenangkan Tuhannya, demi bisa melakukan
ritual-ritual agamanya dengan khidmat, tanpa ada rasa kurang satu apapun, tak
peduli ia telah menyakiti tetangganya, temannya, kliennya bahkan, sebab yang
dipahaminya ialah harus beruasaha mencapai kebahagiaan dan keluarganya
tercukupi sandang, papan, dan pangannya sebagai asas kebahagaian.
Dalam masa hidupnya gadis kecil itu berjalan
tanpa peduli dengan apa yang terjadi, karena memang lingkup sosialnya
mengkontruksikan ia ‘mesti’ seperti itu, walau terdapat kontradiksi pada
gejolak intelektualnya, ia selalu terngiang apa yang dikatan oleh Pramoedya
Ananta Toer ; seorang pelajar harus adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan [iii], tapi apa? Dunia tidak seadil itu. Dunia keadilan idealnya hanya
dimiliki oleh mereka yang terobsesi akan sesuatu yang immortal, sebab ia
menyaksikan bahwa dalam jagat peradilan, dan yang ulung, pada akhirnya, sebuah
ras (kaum papa) yang berbuat salah akan diseret tak henti-hentinya menuju
ketidakbersalahan yang tidak mungkin, di bawah tatapan garang para penyelidik [iv], dan bagi siapa pun yang memiliki kasus, meski sebiji sawi, ia akan
terjerat dengan kata yang dipenuhi oleh ambiguitas; pasal. Seseorang pernah
mengisyaratkan bahwa adil ialah sesuatu yang bersifat ‘proporsional’ tidak
selau seperti apa yang tergambar dalam neraca pengadilan, yang tidak berat
kanan atau kirinya justice for all, namun gadis itu kembali berpikir
sejauhmana keberlakuan ‘proporsional’ itu dalam sengkarut dunia yang selalu di
sesaki oleh kong-kalikong ini? Apa ini yang harus diterima dari kinerja
si rakus dan si tamak itu di lembaga hukum yang hari ini mulai sangar itu? Jika
memang demikian adanya apa gunanya orang yang menuntut keadilan sebab ‘ada yang
dirampas’ dalam kehidupannya, namun kontras bagi ‘sang perampas’ itu, lebih
baik tidak ada hukum sekalian pikirnya dengan langkah gontai tak menentu, sebab
hukum langit dan bumi hanya dipelintir bagi mereka yang berkepentingan, dengan
merekayasa delik hukum serta suap-suapan layaknya balita-balita yang memang
tingkahnya selalu mengocok perut.
Pada sudut lain, apa yang di lihat oleh si gadis kecil
dalam tempatnya menimba cahaya (baca : sekolah) tidak jauh berbeda dengan apa
yang dilihat serta dirasakan olehnya mengenai representasi dunia, meski ia
belum berani menyimpulkan dan berbicara pada teman sejawatnya bahwa dunia ini
seperti ini atau seperti itu, sebab perjalanannya masih panjang dan pasti akan
ada banyak kejutan, kesedihan serta lainya yang akan menghampirinya dalam kurun
waktu yang tiada ia tau kapan itu terjadi , sebab ia hanya berpikir bahwa
“kemarin adalah sejarah dan esok adalah misteri” sehingga ia hanya berani
berikhtiar dalam menapaki bumi dengan dua kutub gersang ini. Dirasakan olehnya bahwa apa yang diterimanya dari sekolah telah
using dengan teori-teorinya yang lapuk yang tidak lagi relevan dalam menjawab
persoalan yang di hadapinya di era modernitas ini, belum lagi ia kembali
mempersepsikan apa yang dikatan Paolo Freire bahwa ia (peserta didik) merupakan
sebuah aset investasi dari mayoritas keluarga (investor) yang nantinya akan
memberikan bunga bagi keluarga itu sehingga ia berasumsi bahwa hari ini sekolah
tidak lebih dari opium, yang di dalamnya bisa membuat siswa dan siswinya
terlena dalam dimensi sakral budaya elitis, yang hanya menyambung estafet
pendahulunya dengan membarter satu lembar kertas (ijazah) dengan secuil uang
demi mempertahankan status quo yang mentereng dilencana seragamnya,
namun minim implementasi terhadap sesama, terelebih kepada alam sekitarnya,
sebab ia telah berevolusi menjadi si tamak seperti par pendahulunya.
Dengan
kesehariannya yang di penuhi kebutuhan akan uang, si gadis itu mulai
beranggapan bahwa sekolah hanya milik mereka yang berpunya, semenjak prakitik
pungli berbalut kata indah dalam agama ; shodaqoh di gunakan untuk
menghisap peserta didik maka ia perlahan mulai menegasikan sikap optimisnya
terhadap kata suci ; pelajar, yang gadis itu sering mendengar sentilan bahwa
orang yang ‘makan bangku sekolahan akan enak hidupnya’ tapi dalam
realitasnya ia gamang terhadap hal itu dengan realitas-realitas yang tidak
sedikit 180 derjat bergeser dari esensinya, ia mlihat idealnya sepanjang
pendidikan dibatasi hanya pada metode dan teknik pengajaran bagi peserta didik,
sedangkan guru dalam mencermati realitas sosial – jika mereka benar-benar mau
melakukannya – tidak lebih dari sekedar mendeskripsikannya [v]
dan itu yang terjadi berulang-ulang dalam dunia pendidikian, jadi siapa yang
ingin di cerdaskan serta diretas kebodohnnya, tetap gurunya atau muridnya? Ia
beranggapan bahwa apa yang diterimanya belum bisa diterima oleh teman-teman
sejawatnya, sebab guru hanya menyampaikan apa yang ada dalam buku tanpa
dikomparasikan dengan ralitas sosial,
hingga sepulangnya gadis itu hanya merasakan dehidrasi dalam pikirannya.
Kadang
terbesit sebuah tanda tanya besar dalam sunyi bacaannya, bahwa apakah pemenuhan
administrasinya sebanding dengan yang ia dapat? Akan tetapi naluri negatif itu
ditereduksi oleh sikapnya yang optimis dalam ‘fhoto copy’ transfer
buku yang diberikan oleh banyak guru setiap mata pelajarannya, walau belajar (studying)
itu merupakan pekerjaan yang cukup berat juga menuntut sikap kritis-sistematik
(systematic criticak attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya
diperoleh dengan praktik langsung [vi]
si gadis haya merasakan cukup dengan apa yang telah diberikan, sebab apabila ia
mengkritisi apa yang telah diberikan maka ancaman serta intimidasi akan
diterimanya bukan hanya saat itu, namun dalam buku nilai yang sudah barang
tentu sangat sakral ; rapot, dan semenjak lembayung kemarin nilai (apapun
bentuknya) sellu menjadi raja atas sebuah kerja dan meski nilai itu kadang
menjadi boomerang bagi bagi pribadinya.
Dalam kemelut sepak-terjangnya dalam kehidupan ia
telah menerima apa-apa yang seharusnya tidak diterima oleh manusia dengan kapasitas
yang belum tepat usianya, karena ia bukan hanya telah mengenal baik dan buruk,
benar dan salah yang seharusnya ‘diletakan’ pada alam pikiran manusia dewasa,
segala bentuk kejahatan, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung
harus ia saksikan hingga matanya lebam dengan adanya fenomena yang terus
menghantui keberadaannya serta mengancam eksistensi kehidupannya kelak, telinganya
tidak henti-hentinya mendengar cacian serta cibiran dari provokator yang lambat
laun, juga berevolusi menjadi si tamak seperti kebanyakan.
Gadis kecil itu
selalu membayangkan fuzzy logic atau logika tandingan [vii]
yang memang ‘semestinya’ ada dan hadir dalam setiap konflik yang menghampiri
lingkungan sekitarnya, tidak di penuhi oleh pragmatis yang telah di ramu dengan
politik golongan, dalam banyak kasus, baik dunia pengadilan atau dunia
pendidikan, persoalan politik tak terelakkan, dari yang awalnya politik itu
merupakan sesuatu yang bersifat suci, namun dalam kurun waktu yang lama definisi
hingga implementasinya telah terdegradasi oleh ‘kepentingan’ yag menyeruak masuk kedalam
tubuh-tubuh instansi, yang di dalamnya telah melakukan
penyelewengan-penyelewengan serta tindakan yang bersifat otoriter terhadap
objek politik itu sendiri. Si gadis pernah teringat adagium Burke ; ia (seorang
politisi) harus sepenuhnya memperhatikan keinginan mereka (rakyat), menghormati
pendapat mereka memperhatikan masalah mereka. Sudah sampai kewajibannya untuk
mengorbankan waktu luangnya, kesenangannya, keinginannya, demi kepentingan
mereka – dan terutama, bahkan bahkan dalam setiap kasus, lebih mementingkan
kepentingan mereka daripada kepentingannya sendiri [viii],
akan tetapi gadis kecil itu memendam kekecewaan yang mendalam dan menyayat,
pasalnya dalam tataran grees root hukum yang besentuhan dengan politik,
atau sebaliknya, selalu tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Kekecewaan demi
kekecewaan ia rasakan dalam masanya yang belia yang sudah terlanjur menjadi
seorang nihilis kata Nietzche, ya benar nihilis akan hal-hal yang tidak tidak
seperti nampak pada ideal-idealnya, dan kata Nietzche kita (manusia) telah
membunuh Tuhan, dalam arti esensi-esensinya yang mulai di tinggalkan dan lapuk
dalam sengkarut keserakahan yang sudah barang tentu telah mengotori dunia yang
banyak nilai estetika di dalamnya, namun semuanya di konstruksikan menjadi
sesuatu yang artifisial, semu, dan sesuatu yang menjijikan.
Dan pada akhirnya
stimulus demi stimulus kebijaksanaan hanya berlabuh pada kubangan-kubangan
retorika para pengemis suara sebelum pesta demokrasi berlangsung, dan gadis itu
pun tertegun akan lidah api atas khotbah-khotbah yang membara di setiap tempat
namun ia meyakinkan diri untuk tidak tersugesti atas apa yang dimuntahkan oleh
delegasi partai politik itu, sebab belum pernah ia temui tindakan konkrit pasca
pesta demokrasi berlangsung, yang aa hanya bagaimana modal pemilu itu kembali,
entah korupsi, atau menipu rakyat, atau bahkan menggandeng investor dalam
mengeksploitasi rakyatnya untuk di jadikan tumbal atasnama demokrasi itu
sendiri, pemandangan yang taknlazim it bukan hanya ia saksikan dalam media
elektronik yang nun jauh tempatnya, akan tetapi di depoan matanya jua
penghianatan it berlangsung. Ia telah merasakan betapa kekuasaan yang
seharusnya kata Jhon Locke ; kekuasaan yang dimiliki pemerintah hanya demi
kebaikan masyarakat di mana kekuasaan tersebut tidak boleh dijalankan secara
abriter dan sekehendaknya sendiri, maka ia harus dijalankan dengan hukum yang
ditetapkan dan diundang-undangkan sehingga rakyat bisa tau kewajiban mereka,
dan merasa aman dan terjamin dalam naungan hukum tersebut, dan demikian juga
bagi penguasa, mereka harus berada dalam batas-batas kekuasaan tersebut [ix].
Pada akhirnya gadis itu terbujur kaku dalam dilema
serta kegamangannya dalam menatap dan menjalani dunianya yang sudah tak
bersahabat lagi dengannya, ia hanya berharap keajaiban dari Pemilik segalanya
yang terus di curahkan dalam lirih dialog manis malamnya yang sunyi yang tiada
seorang pun tau bahwa ia menangis dengan teriakan histeris penuh kegelisahan
akan sebuah tanya tentang dunia, pernah ia dapatka kata sakti dari guru
spiritualnya bahwa “dunia adalah permainan” dan ia memang sedang di
permaikan oleh situasi yang memaksanya bermain-main dengan kegelisahan yang tak
berkesudahan. Selangkah jauh ia berpikir dapatkah ia menjadi seorang
revolusioner dengan kodratnya ia adalah perempuan?.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar