Dalam situasi
yang gamang, ia berpikir seradikal
mungkin, di mulai dari tataran primordial bahwa ia adalah seorang perempuan, yang katanya hanya “Tota mulier in utero” atau
perempuan adalah rahim [i].
Akan tetapi dalam dirinya terdapat berbagai cita-cita yang begitu mulia,
sebagai sesorang yang bermartabat serta bermanfaat bagi orang banyak, walau
kenyataannya ia hanya tersungkir dalam drama yang tak berujung ini. Meski dengan sekuat tenaga ia membuktikan
kelenjar tak akan kalah dari otot, serta dengan berbagai cara yang mungkin bisa
melepaskannya dari pelabelan buruk (stereotype) terhadap dirinya dan
teman-temannya yang ‘biasa’ diperoleh, hanya karena perbedaan biologis yang tak
pernah menjadi soal bagi dirinya, terutama. Kegelisahan demi kegelisahan yang
menimpa dirinya, kadang mengalihkan perhatiannya, perhatian yang biasa dijumpai
oleh teman sebayanya yang bergaya hidup mewah dengan pernak-pernik serta
solekan kapital yang kian menyeruak masuk ke dalam alam pikiran gadis-gadis
sebayanya, yang semakin empuk disusupi pembodohan-pembodohan praktis serta
pragmatis.
Ia hanya
berpikir keras atas rentetan kisah yang menimpa dirinya, objek vital yang harus
dicederai oleh sesuatu semestinya belum menimpa dirinya, dan jalan untuk
melangkah ke depan menjadi gelap tanpa secercah lampu, terlebih apabila suatu
saat nanti ia telah mengenyam pendidikan yang tinggi di antara mayoritasnya,
serta ia termangu saat syaraf otaknya membunyikan “perempuan tengah kehilangan
jalannya, perempuan sudah tersesat”[ii], karena
dengan segala kemungkinan bahwa perempuan dapat menempati posisi yang biasa di
huni oleh laki-laki dalam kancah publik, terutama. Sedini mungkin gadis itu mempersiapkan
segala sesuatu yang ia punya, potensi, bakat, semangat serta kesemuanya yang
ada pada dirinya. Karena ia sadar betul bahwa istilah maskulin dan feminim
di gunakan secara simetris semata-mata sebagai masalah bentuk layaknya
kertas-kertas resmi [iii]
yang harus mendpatkan perlakuan istimewa di hadapan sang raja, yang sarat akan
perlakuan ‘lain’ karena bentuk lain. Sehingga perempuan rentan dijadikan objek
hisapan, baik verbal atau psikisnya suatu saat, karena ia mencoba berpikir
konkrit serta realistis bahwa apa yang menyebabkan dirinya, teman-temannya atau
bahkan manusia yang berkelamin sama dengannya mendapatkan perlakuan-perlakuan
yang kurang menyenangkan, sehingga dijadikan objek hisapan kaum atau manusia
yang berbeda kelaminnya ialah ekonomi. Ekonomi yang di dalamnya terdapat
kebutuhan dan keinginan yang secara naluri manusia membutuhkannya, walaupun
belakangan ini keduanya mendapatkan posisi interval di mata kaumnya, kemudian
ia coba menggali apa yang menjadikannya masalah kebutuhan dan keinginan begitu
primordial dalam kehidupan, dan ia menemukan satu pemahaman dari goresan tangan
Jaques Lacan yang menurtutnya kebutuhan ialah energi murni organik untuk hidup,
sedangkan keinginan lebih mendekati nafsu sebagai energi aktif yang berkaitan
dengan proses psikis [iv],
sehingga psyche yang rentan terhadap dorongan-dorongan pemenuhan diri
dapat menyebabkan ia terjerumus dalam kategori hisapan tersebut, sehingga tidak
sedikit banyak diantara kaumnya, atau bahkan teman sebayanya di luar sana yang
menjadi korban keganasan realita. Sehingga ia sebagai gadis kecil yang mencoba
untuk berpikir jauh mewanti-wanti dirinya dari tikaman kenyataan yang
menyebabkan ia terperosok pada lubang yang sama, seperti apa yang dialami oleh
kaumnya dulu dan sekarang. Dengan langkah yang dianggap jitu, serta dengan mentaati
apa yang digariskan untuknya melalui jalan pendidikan yang di empu olehnya, ia
sekuat diri menjadi sesosok kupu-kupu baja [v]
yang tangguh, serta tidak mudah tunduk dalam rona keindahan semu fatamorgana.
Bagaimanapun ia
adalah gadis kecil dengan segala kegelisahan yang selalu hadir menerpa, karena
dengan adanya panca indera sebagai objek vital yang telah banyak dilukai oleh
kenyataan-kenyataan pahit dalam putaran roda kehidupan ini. Dengan segudang
maklumat yang ia terima tidak sedikit kontradiksi atasnya, dan hal itu belum
lagi ditambah dengan betapa kuatnya mindset patriarki dalam ruang
geraknya. Tak ayal ia selalu harus mengurungkan niat-niatnya yang bersinggungan
dengan status biologis, seperti ia ingin sekali belajar memanah atau belajar
menunggang kuda seperti umumnya laki-laki, namun dengan serta-merta keinginan
seperti yang dikatakan J. Lecan tadi, harus segera di padamkan dengan siraman
feminim yang sudah semestinya ia posisikan sebagai kebutuhan, seperti umumnya
gadis-gadis lain. Namun hasrat semacam itu kadang terus tumbu seiring dengan
apa yang diteima akalnya sebagai hipotesa akan kebenaran, karena mungkin yang
terpenting dari semuanya, kebanyakan kita peduli bahwa kita dibenarkan dalam
keyakinan moral kita. Kita tidak ingin berpikir bahwa keyakinan kita tentang ketidakbolehan
membunuh tidak lebih dibenarkan melebihi keyakinan penjahat bahwa pembunuhan
adalah di perbolehkan secara moral [vi]
sehingga menyebabkan jatuh dalam rasa pesimis dalam sebuah labirin kebenaran,
karena dalam terminilogi primordialnya, bahwa kata ‘kebenaran’ berasal dari
kata ‘benar’ yang berarti sesuai dengan sebagai mana adanya, yang kemudian di
dalamnya terdapat imbuhan berupa ‘ke dan an’ namun berimplikasi lain dalam
implementasinya, belum lagi ketika ia menemui sebuah ‘pembenaran’, dan kata ini
yang membuat si gadis menciut dalam segala keadaan, dengan hal adanya
kata ‘pembenaran’ tersebut maka ‘kebenaran’ seecara perlahan mulai terkikis
dalam praktiknya, seolah memang alam mengamini bahwa posisi perempuan atau si
gadis tadi hanya dalam posisi kedua dalam hidup ini, apa-apa yang menjadi boleh
terhadap laki-laki tidaklah untuk kaum perempuan, begitu kira-kira pikir si
gadis tadi. Dan ia hanya berfikir bahwa ia di posisikan sebagai Uit bet schoone
Leven van een mooie Boerin atau dari kehidupan indah seorang wanita petani
cantik [vii] yang
hanya dibenarkan dan dibesarkan oleh ‘moral-sosial’ yang menjerat di mana ia
hidup dan berpijak, dan betapa gundahnya ketika seseorang berceloteh bahwa “perempuan
atau wanita itu harus lihai dalam dapur, kasur, dan sumur” atau hanya
berada dalam cengkraman domestik, sehingga hal-hal lain yang bersentuhan dengan
hak serta kebebasannya dalam berekspresi dibatasi oleh ‘moral-sosial’ yang seolah
ia telah menjadi dogma bagi perempuan dan gadis lain yang sebaya dengannya, dan
apabila salah satu dari perempuan tadi mencoba untuk menerjang moral-sosial
maka sanksi sosial pun berlaku atasnya, seperti cemoohan dan dikucilkan dari
komunitasnya, tak pernah ada sebuah Onder curateele atau di bawah
pengampunan[viii]
bagi siapapun pelanggarnya, meskipun ia paham betul bahwa sifat hukum itu
lentur dan fleksibel, namun siapa yang berani mentang hukum alam atau
norma-sosial?
Dalam
kesehariannya si gadis hanya memenuhi kewajibannya sebagai seorang pelajar
ytang tak lain tugasnya hanyalah belajar, entah andargogi atau otodidak. Yang
pasti di waktu luangnya ia habiskan dengan membaca buku dan mengamati realitas
sosial di sebuah tempat yang ia beri nama Onderwijs, Nijverheid en Eeredienst
atau dapertemen pengajaran, kerajinan dan ibadah [ix],
karena di tempat tersebut ia mendapatkan sebuah ketentraman dan kedamaian dalam
mengamati realitas sosial. Tempatnya berdekatan dengan sebuah jalan alternatif
lengkap dengan bulevarnya dan juga bersebelahamn dengan pesawahan yang luas
sehingga dengan pelupuk mata hitamnya ia bisa mengamati kenyataan-kenyataan
yang indah sekaligus pahit. Pahit karena ia harus taken granted terhadap
kenyataan bahwa ia adalah perempuan dengan segala kesulitannya dalam menggapai
cita-cita yang telah di cantolkan pada bintang namun terhempas oleh
skat-skat atmosfer sebagai demarkasi atas perempuan dan kebebasan hingga
membuatnya berpasrah terhadap keadaan yang tak berpihak. Dan indahnya yang
hanya sekelibat fatamorgana yang dalam rasio detik akan lenyap begitu saja,
karena ia mulai meyakini tiadak ada yang absolut di dunia ini kecuali kata
absolut itu sendiri. Walau terlintas dalam benaknya , bahwa ia ingin sekali
mengulangi masa kecilnya yang tidak pernah ada kesulitan-kesulitan yang
berarti, jika ada maka semuanya akan selesai dengan tangisan kencang yang
memecah keheningan. Tapi ia sadar bahwa itu hanyalah sebuah tamani atau
sesuatu yang tidak mungkin. Karena kini posisinya sedang dalam kondisi
terjajah, iya terjajah oleh dogma, terjajah oleh seguadang aturan dan lain
sebagainya, hingga ia melihat temannya bertingkah dan dan berbicara seperti
gaya penjajah itu sendiri, dan sering ia saksikan orang yang terjajah selalu
meniru meode penjajah, baik dalam gaya busana, kendaraan, senjata dan
penggunaannya, serta jenis bentuknya. Bahkan dalam semua aktivitas, kebiasaan
dan perilakunya [x],
yang membuat ia merasa ’jijik’ dengan apa yang teman-temannya lakukan dan
bicarakan, karena ia berpikir bahwa sehebat apaun gaya mereka, entah fashionnya
ataupun gaya lainnya, tetaplah bahwa mentalitas inlander tetap bersemayam
dalam jiwanya. Dengan kenyataan bahwa mental budak mereka belum hilang saat di
perbudak oleh seabreg aturan yang tidak logis menurutnya dan memang
harus di luruskan. Dan ah, ia hanya sekelumit debu di lautan, dengan
angan-angan bisa menjadi karang yang tak goyah ketika dihempas ombak dan bisa
menjadi tempat bersembunyi bagi ikan-ikan kecil yang dlam keadaan bahaya, dan
bahwa ia adalah gadis malang yang tak berpunya yang tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan teman-teman sebayanya,untuk hidup glamor nan mewah adalah
sebuah kenistaan bagi dirinya, wajah yang lesu nan sedikit gelap sebab terbakar
sengatan surya tidak elok ketika di poles dengan make up hasil bidikan
kapital (pemodal) yang sarat akan kerakusan dengan kekuasaannya, yang si gadis
itu pikir bahwa dengannya pula mereka sang pemodal mengindikasikan kekuasaan (powerfull)
dalam tiga karakter. Pertama, konsekuesi pertama ialah menikmati
kekuasaan itu sendiri, karena dengan ekspansi pasar yang sukses sehingga sang
pemodal enggan terlibat dalam masalah-masalah serius yang menimpa tempatnya
berpijak. Kedua, karakter berikunya ialah mendorong seseorang untuk hidup
bermegah-megah, walau dengan kondisi papa sekalipun namun rayuan-rayuan maut
pemodal tidak sesurut kondisi calon konsumennya, dengan media virtual yang
seemikian rupa pemodal memaksa semua orang terseret ke dalam kehidupan seperti
apa yang ia imajinasikan dalam iklan-iklan produknya. Ketiga, mendorong
para konsumennya (raja) untuk hidup tenang dan bermalas-malasan [xi],
sebab dengan terpenuhinya kebutuhan non-primer maka konsumen tidak lagi bingung
akan kondisi sosial sekitanya, dan hanya bermalasan-malasan dengan pola pikir
praktisnya. Maka dari itu sang gadis mungil menolak untuk tunduk akan ketiga
karakrter penjajah itu, ia harus berani melawan segala kemungkinan yang hendak
menimpa dirinya nanti di masa yang akan datang. Dengan segala gaya jajahan yang
neo-imperialis atau bahkan merkantilis, yang telah masuk dengan tanpa di sadari
oleh masyarakat kebanyakan, sehingga perang pasar dalam gaya penjajah tersebut
tak pernah di rasakan, juga mungkin karena cara mereka berperang seperti sebuah
permainan catur [xii],
yang dengan segala taktiknya bisa meobohkan raja yang berdiri di belakang
kavaleri. Si gadis terus terenyuh pikirannya tak kuasa menahan
dentuman-dentuman para penjajah yang bergaya ‘elok’ tersebut, kerena ia sadar
betul bahwa kekuatan militer atau semi-militer (condottieri*) lah yang masuk apabila barang dagangan mereka
tidak bisa masuk pada wilayah ekspansinya, ‘ya semuanya adalah perlomban
perebutan pasar (baca ; konsumen)’ pekik gadis itu, maka tak heran apabila mata
indahnya ternodai oleh pemaangan yang sama sekali tidak etis serta tadi, tidak
bermoral. Juga perlombaan perebutan pasar merupkan sebuah perang, karena perang
adalah perang, sebuah pertarungan tanpa batasan dan tak kenal perasan, dan
kemenangan adalah tujuan yang kepadanya semua pertimbangan lainnya di medan
perang harus tunduk, (serta) perilaku terhadap musuh tidak boleh dikenai
pertimbangan-pertimbangan moral umum, segala macam tipu daya dan kekerasan
merupakan hal yang sah apabila digunakan untuk melawan musuh [xiii].
Angannya selalu melayang jauh hingga teman-temannya sulit menerka apa yang ia
katakan, baik di dalam kelas atau di luar kelas, obrolan ‘sadis’ begitu yang si
gadis terima sebagi ‘sanksi-moral’ karena pola pikir yang melampaui teman
seusianya, tidak sesuai dengan ‘kaidah normal’ masa remaja, yang biasa di
jumpai. “jangan sampai seperti phalanx* yang harus berjalan di bawah
komando sang jendral”, begitu ucapnya saat menasehati temannya yang sedang curhat
akan permasalahan asmaranya, yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang
‘tidak masuk akal’ karena bertentangan dengan kebebasan untuk hidup serta
berekspresi seorang manusia. Perlahan si gadis membaca dan memahami 43 topik
atau kategori tipu daya yang didaftar dan dianalisis oleh Frontinus, orang
Romawi (35/40-103 M), yang diantaranya : bagaimana mengetahui rencana-rencana
musuh, meloloskan diri dari situasi yang sulit, dan bagaimana mengalihkan
perhatian musuh [xiv].
Dengan asumsi standar bahwa dengan memahami hal itu ia tidak terlalu sulit
dalam menghadapi orang yang ‘kurang’ disukainya, serta sebagai prisai dalam
kehidupannya di era yang tak berperasaan ini.
Terbesit dari
matanya yang indah pemandangan yang tak eksotis lagi, semuanya berubah dengan
derasnya teknologi yang mengalir serta perilaku konsumtif masyarakat
sekelilinya yang tak terbendung demi mengejar kata ‘sejajar’ dengan kaum elit,
atau bintang sinetron yang kini menjadi raja di alam pikiran masyarakatnya.
Walau ia harus hidup terasing dan di asingkan oleh kaum sebayanya, “no
problem, asalkan tidak terhanut oleh arus mainstream, it’s ok”. Karena
si gadis merasa bahwa menjadi diri sendiri itu mahal, bagai berlian dalam
samudra, dan selalu memegang prinsip yang di petuahkan oleh orang bijak bestari
“jadilah mawar yang tumbuh pada tebing”. Oleh karenanya ia terbiasa
dengan kesendirian, bersahabat dengan kesunyian, seperti Nietzsche yang soliter
dan berpikir jauh melampaui masa ia hidup. Kemudian ia juga memahami ucapan
dari guru spiritualnya, bahwa Ali bin Abi Thalib berkata bahwa betapa “nafsu
itu ibarat air laut. Ketika kita meminumnya, semakin hauslah kita”, dan
dengan nasihat ini ia aplikasikan dalam dirinya untuk meredam
keinginan-keinginan yang sifatnya non-hakiki, il faut tuer les pasions [xv]
nafsu-nafsu harus dimatikan, begitu yang si gadis camkan dalam akal
sehatnya yang tersisa dari semua yang ia miliki, sebab pelupuk matanya telah
hitam di nodai oleh polusi yang menjelma nyata.
Kamis, 02 Maret
2017
Oleh : Nur Umar (Ahonk)
[i]
Simone De Beauvoir, Second Sex (Fakta dan Mitos), terjemahan Toni B. Febriantono,
Narasi cetakan ke-I, Yogyakarta 2016. Pengantar.
[vi] Richard L. Kirkhan, Teori-Teori Kebenaran(Pengantar Kritis dan
Komprehensif), terjemahan M. Khozin, Nusa Media, cet ke-I, Bandung 2013.
Hal 61
[vii] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Lentera Dipantara, cet ke-XVI,
Jakarta Timur 2010. Hal 316.
[x] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Masturi Ilham, Pustaka
al-Kautsar cet ke-I, Jakarta Timur 2011. Hal 237.
[xii] Niccolo Machiavelli, The Art of War,terjemahan E. Setiyawati Alkhtab,
Narasi cet ke-II, Yogyakarta 2016. Prawacana xi.
* condottieri : Sebutan untuk tentara
bayaran.
* phalanx : sekelompok infanteri
bersenjata berat pada zaman Yunani kuno.
[xv] Nietzsche, Senjakala Berhala & Anti-Krist, terjemahan Hartono
Hadikusumo, Narasi cet ke-I, Yogyakarta 2016. Hal 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar