Oleh : A. Zahid
Harun Nasution lahir di ‘‘Tanah Dolar’’ keresidenan Pematang Siantar, Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara) pada hari Selasa tanggal 23 September 1919. Pematang Siantar merupakan kota dekat dengan Danau Toba dan Medan (kurang lebih berjaral 128 kilometer). Menurut T.B. Simatupang merupakan miniatur negara.
Ayah Harun adalah Abdul Jabbar Ahmad Nasution, seorang ulama tradisional dari Mandailing yang mendalami ilmu fikih, menduduki jabatan sebagai qadi, penghulu, kepala agama dan imam masjid di Simalungun. Sedangkan ibunya bernama Maemunah Nasution yang juga berasal dari Mandailing adalah seorang putra ulama yang masa mudanya pernah bermukim di Masjidil Haram dan memahami aktivitas intelektual di Masjidil Haram.
Harun merupakan anak ke empat dari lima saudaranya, yakni abangnya yang tertua Mohammad Ayub, diikuti Khalil, kakak perempuannya Sa’adah, serta dik perempuannya Hafshah.
Keluarga harun termasuk golongan yang berpendidikan, maka tak heran jika orang tua Harun sangat memberikan sumbangan dan peran penting dalam menanamkan pendidikan untuk Harun. Perjalanan pendidikan Harun dapat dibagi menjadi tiga fase, yakni fase Sekolah Dasar dan Menengah, fase keluar negri : Mekkah dan Mesir (menjadi mahasiswa dan berkarier), dan fase kembali berkiprah di Indonesia.
1. fase Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah
Harun memulai pendidikannya di sekolah HIS Hollands Inlands School atau Sekolah Belanda Bumiputra-sederajat SD sekarang-di Pematang Siantar, dari tahun 1927 sampai 1934 (usia 7 sampai 14 tahun). Selama di HIS harun mempelajari bahasa belanda dan pengetahuan umum. Karena di HIS tidak di dirikan pendidikan agama, pada sorenya ia belajar mengaji dikampungnya. Hal ini juga tak lepas dari keluarga yang notabene santri, religius, taat agama, suasana keagamaan yang bercorak tradisional seperti Washliyah semacam Nahdatul Ulama di Jawa atau PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) organisasi kaum Tuo di Sumatera Barat. Alumnni HIS kebanyakan mempunyai jiwa Nasionalisme yang sangat tinggi. Walaupun sekolah itu merupakan sekolah belanda.
Setelah Harun selesai sekolah di HIS dengan predikat murid pilihan (terbaik), ia mendapat rekomendasi untuk masuk ke sekolah MULO (Meer Mutgebreid Lager Onderwijs)-setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama. Sebuah harapan bagi alumni HIS untuk lanjut ke MULO, begitu-pun Harun. Namun keinginannya untuk melanjutkan ke MULO kalah dengan keinginan orang tuanya yang menginginkan Harun melanjutkan sekolah ke MIK (Moderne Islamietische Kweekschool). Sekolah Guru Menengah Swasta modern milik Abdul Ghaffar Jambek putera ulama ternama di Minangkabau, Syeikh Jambek. Selama tiga tahun belajar dengan bahasa pengantar yaitu bahasa belanda.
Di sekolah guru yang berada di Bukit Tinggi ini, mulai terlihat daya kritisnya terhadap hukum-hukum islam yang bertolak belakang dengan apa yang dianut oleh orang tuanya. Harun menemukan wacana baru yang cenderung rasional seperti dalam hal sholat dan lainnya. Tentu hal ini salah satu faktornya di pengaruhi cara berpikir ulama-ulama modern di MIK waktu itu, seperti Jamil Jambek, Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah. Hingga sampai orang tuanya menginginkan harun untuk melanjutkan pendidikannya ke Mekkah, walau sebenarnya harun mempunyai cita-cita untuk melanjutkan ke Solo.
2. fase keluar negeri : Mekkah dan Mesir
Harun Nasution berangkat ke Mekkah pada tahun 1936, belajar di Masjidil Haram, menunaikan ibadah haji, membaca kitab kuning terutama tafsir, hadis, tauhid dan fikih, seperti pengalaman ibunya. Beliau di Mekkah tidak terlalu lama dikarenakan melihat suasana Mekkah menurut pandangan Harun tidak kondusif untuk belajar. Kesannya seperti abad pertengahan diabad modern, sarana transormasi masih menggunakan keledai dan unta, fasilitas belajar masih sederhana, tidak ada meja kursi. Dilihat dari prespektif perjalanan keilmuan pemikiran islam, Arab Saudi tidak dikenal sebagai tempat belajar yang menuntut untuk kritis. Dengan kondisi yang demikian, akhirnya Harun pun minta restu kepada orang tuanya untuk pindah ke Mesir.
Pada tahun 1938 Harun mulai menuntut ilmu di Mesir, sebuah negeri yang memberi atmosfir baru bagi Harun. ada beberapa faktor yang mendorong Harun untuk melangkahkan kaki di tanah Mesir yaitu, pertama, lembaga pendidikan di Mesir, seperti Universitas Al-Azhar, Universitas Cairo, Universitas Helwan dan Universitas Ain Syams. Keempat Universitas utama yang berada di Mesir. Kedua, gelora pembaruan pemikiran di Mesir, negara arab yang terkena pengaruh langsung dari Eropa, dimuli sejak masuknya Napoleon ke Mesir. Disamping itu banyak pemikir dari Mesir seperti Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh beserta murid dan pengikutnya ; Rasyid Rida, Mustafa Al-Maraghi, Tantawi Jauhari, Farid Al-Wajdi, Qasim Amin, Toha Husein dan lain-lain. Ketiga, Nasionalisme Mesir, ide-ide nasionalisme mesir antara lain dalam rangka melawan penjajahan Inggris.
Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan republik Indonesia, setelah mendapatkan pengakuan dari liga Arab di Kairo. Kemudian didirikan kantor delegasi yang diketuai oleh M. Rasjidi. Pekerjanya terdiri dari pelajar dan mahasiswa indonesia termasuk harun. dia memulai karirnya sebagai pegawai pemerintah yakni diplomat (diplomatic service) dan resmi diangkat sebagai pegawai negara sipil. Pada tahun 1953 ia ditugaskan di Departemen luar negri di Jakarta sebagai seksi arab, pekerjaannya membaca surat kabar dari timur tengah. Pada tahun 1954 harun ditugaskan ke Saudi Arabia dalam urusan haji. Pada tahun 1955 harun ditugaskan di Brussels, Belgia sebagai sekretaris duta besar.
Setelah menempuh masa yang cukup lama, pada tahun 1960 harun kembali masuk dunia intelektual dengan belajar di Al-Dirasat Al-Islamiyyah. Disini harun belajar dengan Abu Zahrah.
Masa ini merupakan masa yang paling sulit bagi harun dalam masalah moneter. Akan tetapi harun tak putus asa, dia selalu berusaha dan berdoa tiap malam serta meminta petunjuk kepada tuhan yang maha esa, dalam doanya “tabunganku habis, barang-barangku satu persatu kujual. Keadaan semakin tak menentu”. Sampai akhirnya datanglah tawaran ke McGill University, Kanada. Hingga sampai selesai masa studinya. Untuk tesis magisternya, harun menulis tentang politik dengan judul : “the islamic state in indonesia the rise of the ideology , the movement for its creation dan the theory of the masjumi”. Adapun untuk disertasinya, harun menulis tentang teologi islam dengan judul : “the pleace of reason in abduh’s theology its impact on his theological system and views”.
3. fase kembali berkiprah di indonesia
Setelah menggali lubang sampai mencapai kedalaman yang tak terhingga kemudian muncullah sumber air itu untuk berdialektika dengan historisitasnya. Harun memulai kegiatannya di iain syarif hidayatullah jakarta. Kurang lebih mengabdi selama empat tahun di iain, harun diangkat menjadi rektor oleh menteri agama yang waktu itu adalah mukti ali lulusan dari mcgill university.
Setelah dilantik, harun sudah mempersiapkan beberapa pembenahan yang akan dilakukannya selama ia menjabat rekror. Pertama, memperbaiki kurikulum yang di pakai di iain. Untuk mengsukseskan konsep ini harun mengumpulkan seluruh rektor iain seindonesia. Dan atas diskusi yang sangat panjang diterima konsep dari harun walaupun ada penolakan dari rektor tertua h. Ismail ya’cub dan k.h. bafaddal. Namun akhirnya mereka menerima dengan syarat mata kuliah fiqh, tafsir hadis tidak dihilangkan dengan alasan menjaga nuansa keilmuan islam di iain.
Pandangan terhadap teologi rasional, harun merujuk kepada tradisi pemikiran yang di pakai mu’tazilah dan tokoh-tokoh pembaharu seperti muhammad abduh. Sedangkan terhadap teologi tradisional harun memakai teologi asy’ariyah. Dengan memakai titik pijak ini harun membawa pemikiran-pemikiran yang di introduksi di iain.
Setelah selesai tugasnya sebagai rektor iain syarif hidayatullah, harun nasution dipercaya sebagai direktur pasca sarjana uin syarif hidayatullah. Berkat ketekunannya mengelola pasca sarjana ini telah hadir ratusan doktor dalam bidang studi agama islam yang memimpin di lembaganya masing-masing.
Manusia ingin yang cepat tapi allah memilih yang tepat. Pada tanggal 18 september 1998, empat hari sebelum hari kelahirannya menjelang usia 79 tahun ia meninggal dunia, setelah dirawat satu malam di rumah sakit pertamina kebayoran jakarta selatan.
Selasa, 30 Mei 2017
Sabtu, 06 Mei 2017
Pertama, Oase Al-Qur’an Dibedah Di Cirebon
Bedah buku Oase Al-Qur’an pertama kali di Cirebon, dan pada hari
sabtu 06 Mei 2017 di pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun telah
mengawalinya di ampu langsung oleh penulis sekaligus pengasuh Pesantren
Dar al-Tauhid yaitu KH. Akhsin Sakho Muhammad. Acara tersebut diikuti
oleh ratusan peserta, terdiri dari para santri, alumni, penggiat
literasi dan tak ketinggaln masyarakat sekitar pesantren tersebut, juga
dalam rangka mengisi acara pra-imtihan dan khataman Pesantren Dar
al-Tauhid, yang pada hari sebelumnya di isi oleh KH. Husein Muhammad
dengan buku Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi Muhammad.
Walid, begitu KH. Akhsin Sakho Muhammad disapa. Dengan sangat sangat gamblang beliau memaparkan isi buku tersebut kepada para pendengar yang antusias menyimak dari awal. Dan walid menandaskan bahwa “jangan meremehkan orang yang mengajarkan al-Qur’an” dan juga walid berpesan “jadilah seorang ahlul qur’an atau jika belum bisa maka sebagai pembaca al-qur’an.” Dengan menampilkan slide sebagai media visual, berisikan momen-momen bedah buku pada beberapa tempat yang mampu membuat para peserta menyimak dengan khusu. Dan KH. Abdul Basit sebagai pembanding mengatakan “Oase alQur’an itu begitu sederhana baik segi bahasa dan penulisannya, dan buku itu juga memberikan solusi bagi para pembacanya, sebab Oase ialah sebuah penyejuk.”
Dengan menangkap dari isi buku tersebut KH. Abdul Basit banyak memaparkan buku tersebut, baik dari sisi kritik ataupun tanggapan terhadap buku tersebut, dengan solusi-solusi yang mempermudah manusia dalam menjalani kehidpuannya. KH. Abdul Basit juga menjelaskan bahwa “dalam al-qur’an tardapat Khomatsiat surat yang di dahului dengan al-hamdu seperti surat al-an’am, al-kahfi, al-fatir dan seterusnya, dan surat yang di dahulu dengan tasbih seperti surat al-jum’ah.”
Acara tersebut dimulai pada pukul 20:00 hingga pukul 23;00 WIB, ratusan peserta dengan antusias mengikutinya hingga penyerahan penghargaan dari panitia.
Walid, begitu KH. Akhsin Sakho Muhammad disapa. Dengan sangat sangat gamblang beliau memaparkan isi buku tersebut kepada para pendengar yang antusias menyimak dari awal. Dan walid menandaskan bahwa “jangan meremehkan orang yang mengajarkan al-Qur’an” dan juga walid berpesan “jadilah seorang ahlul qur’an atau jika belum bisa maka sebagai pembaca al-qur’an.” Dengan menampilkan slide sebagai media visual, berisikan momen-momen bedah buku pada beberapa tempat yang mampu membuat para peserta menyimak dengan khusu. Dan KH. Abdul Basit sebagai pembanding mengatakan “Oase alQur’an itu begitu sederhana baik segi bahasa dan penulisannya, dan buku itu juga memberikan solusi bagi para pembacanya, sebab Oase ialah sebuah penyejuk.”
Dengan menangkap dari isi buku tersebut KH. Abdul Basit banyak memaparkan buku tersebut, baik dari sisi kritik ataupun tanggapan terhadap buku tersebut, dengan solusi-solusi yang mempermudah manusia dalam menjalani kehidpuannya. KH. Abdul Basit juga menjelaskan bahwa “dalam al-qur’an tardapat Khomatsiat surat yang di dahului dengan al-hamdu seperti surat al-an’am, al-kahfi, al-fatir dan seterusnya, dan surat yang di dahulu dengan tasbih seperti surat al-jum’ah.”
Acara tersebut dimulai pada pukul 20:00 hingga pukul 23;00 WIB, ratusan peserta dengan antusias mengikutinya hingga penyerahan penghargaan dari panitia.
Bedah Buku “Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi Muhammad” Bersama Buya Husein
Acara bedah buku Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi buah karya
KH. Husein Muhammad dan dengan pembanding KH. Mahsun Muhammad, dengan
tema “Membuka Lembaran Langit Dalam Halaqoh” di Pondok Pesantren Dar
al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, pada hari jum’at 05 Mei 2017 yang di
ikuti oleh ratusan santri baik putra dan putri.
Dan menurut buya, sapaan akrab KH. Husein Muhammad menjelaskan bahwa”merayakan hari-hari indah bersama nabi Muhammad adalah; mengekspresikan cinta atau rindu kita kepada Nabi, dengan mengambil suri tauladan Nabi, seperti dalam merayakan hari-hari besar seumpama hari raya.” Karena memang dalam kalender hijriyah banyak sekali hari-hari yang diperingati oleh umat islam seluruh dunia, dan buya melanjutkan pemaparan atas judul dari buku tersebut dengan mengatakan “seringkali umat islam hanya terjebak dalam perayaan-perayaan yang bersifat dzahir atau seremonial semata, namun belum sampai masuk dalam relung hati.”
Dan KH. Mahsun Muhammad menjelaskan bahwa “kaum jahiliyah bukanlah kebodohan dalam hal intelektual, melainkan kebodohan dalam tata nilai atau tatakrama dan kesopan santunan dan gelar ‘al-amin’ yang disemamtkan kepada Nabi karena sifat santun, ramah, menghargai sesama manusia, juga Nabi merupakan seorang yang selalu memikirkan umatnya dan tidak mementingkan diri sendiri.” Dan beliau juga menambahkan bahwa “Nabi selalu membalas kejahatan dengan kebaikan.”
Dengan antusias yang luar biasa dari para santri, banyak pertanyaan-pertanyaan yangb luar biasa dari para santri seperti yang dilontarkan oleh Fahmi Hasan Bisri “Bagaimana jika kaum muslimin memperingati hari besar dengan sedikit kreasi yang berlebihan?” dan pertanyaan tersebut jawab oleh buya dengan “kita tidak boleh di kotori dengan cara yang menodai nama besar Nabi Muhammad.”
Dengan acara seperti ini diharapkan para santri akan meniru suri tauladan Nabi kepada umatnya, seperti sifat penyayang, santun serta pemaaf.
Dan menurut buya, sapaan akrab KH. Husein Muhammad menjelaskan bahwa”merayakan hari-hari indah bersama nabi Muhammad adalah; mengekspresikan cinta atau rindu kita kepada Nabi, dengan mengambil suri tauladan Nabi, seperti dalam merayakan hari-hari besar seumpama hari raya.” Karena memang dalam kalender hijriyah banyak sekali hari-hari yang diperingati oleh umat islam seluruh dunia, dan buya melanjutkan pemaparan atas judul dari buku tersebut dengan mengatakan “seringkali umat islam hanya terjebak dalam perayaan-perayaan yang bersifat dzahir atau seremonial semata, namun belum sampai masuk dalam relung hati.”
Dan KH. Mahsun Muhammad menjelaskan bahwa “kaum jahiliyah bukanlah kebodohan dalam hal intelektual, melainkan kebodohan dalam tata nilai atau tatakrama dan kesopan santunan dan gelar ‘al-amin’ yang disemamtkan kepada Nabi karena sifat santun, ramah, menghargai sesama manusia, juga Nabi merupakan seorang yang selalu memikirkan umatnya dan tidak mementingkan diri sendiri.” Dan beliau juga menambahkan bahwa “Nabi selalu membalas kejahatan dengan kebaikan.”
Dengan antusias yang luar biasa dari para santri, banyak pertanyaan-pertanyaan yangb luar biasa dari para santri seperti yang dilontarkan oleh Fahmi Hasan Bisri “Bagaimana jika kaum muslimin memperingati hari besar dengan sedikit kreasi yang berlebihan?” dan pertanyaan tersebut jawab oleh buya dengan “kita tidak boleh di kotori dengan cara yang menodai nama besar Nabi Muhammad.”
Dengan acara seperti ini diharapkan para santri akan meniru suri tauladan Nabi kepada umatnya, seperti sifat penyayang, santun serta pemaaf.
Rabu, 29 Maret 2017
Gadis Kecil Dengan Pelupuk Mata Hitam (II)
Dalam situasi
yang gamang, ia berpikir seradikal
mungkin, di mulai dari tataran primordial bahwa ia adalah seorang perempuan, yang katanya hanya “Tota mulier in utero” atau
perempuan adalah rahim [i].
Akan tetapi dalam dirinya terdapat berbagai cita-cita yang begitu mulia,
sebagai sesorang yang bermartabat serta bermanfaat bagi orang banyak, walau
kenyataannya ia hanya tersungkir dalam drama yang tak berujung ini. Meski dengan sekuat tenaga ia membuktikan
kelenjar tak akan kalah dari otot, serta dengan berbagai cara yang mungkin bisa
melepaskannya dari pelabelan buruk (stereotype) terhadap dirinya dan
teman-temannya yang ‘biasa’ diperoleh, hanya karena perbedaan biologis yang tak
pernah menjadi soal bagi dirinya, terutama. Kegelisahan demi kegelisahan yang
menimpa dirinya, kadang mengalihkan perhatiannya, perhatian yang biasa dijumpai
oleh teman sebayanya yang bergaya hidup mewah dengan pernak-pernik serta
solekan kapital yang kian menyeruak masuk ke dalam alam pikiran gadis-gadis
sebayanya, yang semakin empuk disusupi pembodohan-pembodohan praktis serta
pragmatis.
Ia hanya
berpikir keras atas rentetan kisah yang menimpa dirinya, objek vital yang harus
dicederai oleh sesuatu semestinya belum menimpa dirinya, dan jalan untuk
melangkah ke depan menjadi gelap tanpa secercah lampu, terlebih apabila suatu
saat nanti ia telah mengenyam pendidikan yang tinggi di antara mayoritasnya,
serta ia termangu saat syaraf otaknya membunyikan “perempuan tengah kehilangan
jalannya, perempuan sudah tersesat”[ii], karena
dengan segala kemungkinan bahwa perempuan dapat menempati posisi yang biasa di
huni oleh laki-laki dalam kancah publik, terutama. Sedini mungkin gadis itu mempersiapkan
segala sesuatu yang ia punya, potensi, bakat, semangat serta kesemuanya yang
ada pada dirinya. Karena ia sadar betul bahwa istilah maskulin dan feminim
di gunakan secara simetris semata-mata sebagai masalah bentuk layaknya
kertas-kertas resmi [iii]
yang harus mendpatkan perlakuan istimewa di hadapan sang raja, yang sarat akan
perlakuan ‘lain’ karena bentuk lain. Sehingga perempuan rentan dijadikan objek
hisapan, baik verbal atau psikisnya suatu saat, karena ia mencoba berpikir
konkrit serta realistis bahwa apa yang menyebabkan dirinya, teman-temannya atau
bahkan manusia yang berkelamin sama dengannya mendapatkan perlakuan-perlakuan
yang kurang menyenangkan, sehingga dijadikan objek hisapan kaum atau manusia
yang berbeda kelaminnya ialah ekonomi. Ekonomi yang di dalamnya terdapat
kebutuhan dan keinginan yang secara naluri manusia membutuhkannya, walaupun
belakangan ini keduanya mendapatkan posisi interval di mata kaumnya, kemudian
ia coba menggali apa yang menjadikannya masalah kebutuhan dan keinginan begitu
primordial dalam kehidupan, dan ia menemukan satu pemahaman dari goresan tangan
Jaques Lacan yang menurtutnya kebutuhan ialah energi murni organik untuk hidup,
sedangkan keinginan lebih mendekati nafsu sebagai energi aktif yang berkaitan
dengan proses psikis [iv],
sehingga psyche yang rentan terhadap dorongan-dorongan pemenuhan diri
dapat menyebabkan ia terjerumus dalam kategori hisapan tersebut, sehingga tidak
sedikit banyak diantara kaumnya, atau bahkan teman sebayanya di luar sana yang
menjadi korban keganasan realita. Sehingga ia sebagai gadis kecil yang mencoba
untuk berpikir jauh mewanti-wanti dirinya dari tikaman kenyataan yang
menyebabkan ia terperosok pada lubang yang sama, seperti apa yang dialami oleh
kaumnya dulu dan sekarang. Dengan langkah yang dianggap jitu, serta dengan mentaati
apa yang digariskan untuknya melalui jalan pendidikan yang di empu olehnya, ia
sekuat diri menjadi sesosok kupu-kupu baja [v]
yang tangguh, serta tidak mudah tunduk dalam rona keindahan semu fatamorgana.
Bagaimanapun ia
adalah gadis kecil dengan segala kegelisahan yang selalu hadir menerpa, karena
dengan adanya panca indera sebagai objek vital yang telah banyak dilukai oleh
kenyataan-kenyataan pahit dalam putaran roda kehidupan ini. Dengan segudang
maklumat yang ia terima tidak sedikit kontradiksi atasnya, dan hal itu belum
lagi ditambah dengan betapa kuatnya mindset patriarki dalam ruang
geraknya. Tak ayal ia selalu harus mengurungkan niat-niatnya yang bersinggungan
dengan status biologis, seperti ia ingin sekali belajar memanah atau belajar
menunggang kuda seperti umumnya laki-laki, namun dengan serta-merta keinginan
seperti yang dikatakan J. Lecan tadi, harus segera di padamkan dengan siraman
feminim yang sudah semestinya ia posisikan sebagai kebutuhan, seperti umumnya
gadis-gadis lain. Namun hasrat semacam itu kadang terus tumbu seiring dengan
apa yang diteima akalnya sebagai hipotesa akan kebenaran, karena mungkin yang
terpenting dari semuanya, kebanyakan kita peduli bahwa kita dibenarkan dalam
keyakinan moral kita. Kita tidak ingin berpikir bahwa keyakinan kita tentang ketidakbolehan
membunuh tidak lebih dibenarkan melebihi keyakinan penjahat bahwa pembunuhan
adalah di perbolehkan secara moral [vi]
sehingga menyebabkan jatuh dalam rasa pesimis dalam sebuah labirin kebenaran,
karena dalam terminilogi primordialnya, bahwa kata ‘kebenaran’ berasal dari
kata ‘benar’ yang berarti sesuai dengan sebagai mana adanya, yang kemudian di
dalamnya terdapat imbuhan berupa ‘ke dan an’ namun berimplikasi lain dalam
implementasinya, belum lagi ketika ia menemui sebuah ‘pembenaran’, dan kata ini
yang membuat si gadis menciut dalam segala keadaan, dengan hal adanya
kata ‘pembenaran’ tersebut maka ‘kebenaran’ seecara perlahan mulai terkikis
dalam praktiknya, seolah memang alam mengamini bahwa posisi perempuan atau si
gadis tadi hanya dalam posisi kedua dalam hidup ini, apa-apa yang menjadi boleh
terhadap laki-laki tidaklah untuk kaum perempuan, begitu kira-kira pikir si
gadis tadi. Dan ia hanya berfikir bahwa ia di posisikan sebagai Uit bet schoone
Leven van een mooie Boerin atau dari kehidupan indah seorang wanita petani
cantik [vii] yang
hanya dibenarkan dan dibesarkan oleh ‘moral-sosial’ yang menjerat di mana ia
hidup dan berpijak, dan betapa gundahnya ketika seseorang berceloteh bahwa “perempuan
atau wanita itu harus lihai dalam dapur, kasur, dan sumur” atau hanya
berada dalam cengkraman domestik, sehingga hal-hal lain yang bersentuhan dengan
hak serta kebebasannya dalam berekspresi dibatasi oleh ‘moral-sosial’ yang seolah
ia telah menjadi dogma bagi perempuan dan gadis lain yang sebaya dengannya, dan
apabila salah satu dari perempuan tadi mencoba untuk menerjang moral-sosial
maka sanksi sosial pun berlaku atasnya, seperti cemoohan dan dikucilkan dari
komunitasnya, tak pernah ada sebuah Onder curateele atau di bawah
pengampunan[viii]
bagi siapapun pelanggarnya, meskipun ia paham betul bahwa sifat hukum itu
lentur dan fleksibel, namun siapa yang berani mentang hukum alam atau
norma-sosial?
Dalam
kesehariannya si gadis hanya memenuhi kewajibannya sebagai seorang pelajar
ytang tak lain tugasnya hanyalah belajar, entah andargogi atau otodidak. Yang
pasti di waktu luangnya ia habiskan dengan membaca buku dan mengamati realitas
sosial di sebuah tempat yang ia beri nama Onderwijs, Nijverheid en Eeredienst
atau dapertemen pengajaran, kerajinan dan ibadah [ix],
karena di tempat tersebut ia mendapatkan sebuah ketentraman dan kedamaian dalam
mengamati realitas sosial. Tempatnya berdekatan dengan sebuah jalan alternatif
lengkap dengan bulevarnya dan juga bersebelahamn dengan pesawahan yang luas
sehingga dengan pelupuk mata hitamnya ia bisa mengamati kenyataan-kenyataan
yang indah sekaligus pahit. Pahit karena ia harus taken granted terhadap
kenyataan bahwa ia adalah perempuan dengan segala kesulitannya dalam menggapai
cita-cita yang telah di cantolkan pada bintang namun terhempas oleh
skat-skat atmosfer sebagai demarkasi atas perempuan dan kebebasan hingga
membuatnya berpasrah terhadap keadaan yang tak berpihak. Dan indahnya yang
hanya sekelibat fatamorgana yang dalam rasio detik akan lenyap begitu saja,
karena ia mulai meyakini tiadak ada yang absolut di dunia ini kecuali kata
absolut itu sendiri. Walau terlintas dalam benaknya , bahwa ia ingin sekali
mengulangi masa kecilnya yang tidak pernah ada kesulitan-kesulitan yang
berarti, jika ada maka semuanya akan selesai dengan tangisan kencang yang
memecah keheningan. Tapi ia sadar bahwa itu hanyalah sebuah tamani atau
sesuatu yang tidak mungkin. Karena kini posisinya sedang dalam kondisi
terjajah, iya terjajah oleh dogma, terjajah oleh seguadang aturan dan lain
sebagainya, hingga ia melihat temannya bertingkah dan dan berbicara seperti
gaya penjajah itu sendiri, dan sering ia saksikan orang yang terjajah selalu
meniru meode penjajah, baik dalam gaya busana, kendaraan, senjata dan
penggunaannya, serta jenis bentuknya. Bahkan dalam semua aktivitas, kebiasaan
dan perilakunya [x],
yang membuat ia merasa ’jijik’ dengan apa yang teman-temannya lakukan dan
bicarakan, karena ia berpikir bahwa sehebat apaun gaya mereka, entah fashionnya
ataupun gaya lainnya, tetaplah bahwa mentalitas inlander tetap bersemayam
dalam jiwanya. Dengan kenyataan bahwa mental budak mereka belum hilang saat di
perbudak oleh seabreg aturan yang tidak logis menurutnya dan memang
harus di luruskan. Dan ah, ia hanya sekelumit debu di lautan, dengan
angan-angan bisa menjadi karang yang tak goyah ketika dihempas ombak dan bisa
menjadi tempat bersembunyi bagi ikan-ikan kecil yang dlam keadaan bahaya, dan
bahwa ia adalah gadis malang yang tak berpunya yang tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan teman-teman sebayanya,untuk hidup glamor nan mewah adalah
sebuah kenistaan bagi dirinya, wajah yang lesu nan sedikit gelap sebab terbakar
sengatan surya tidak elok ketika di poles dengan make up hasil bidikan
kapital (pemodal) yang sarat akan kerakusan dengan kekuasaannya, yang si gadis
itu pikir bahwa dengannya pula mereka sang pemodal mengindikasikan kekuasaan (powerfull)
dalam tiga karakter. Pertama, konsekuesi pertama ialah menikmati
kekuasaan itu sendiri, karena dengan ekspansi pasar yang sukses sehingga sang
pemodal enggan terlibat dalam masalah-masalah serius yang menimpa tempatnya
berpijak. Kedua, karakter berikunya ialah mendorong seseorang untuk hidup
bermegah-megah, walau dengan kondisi papa sekalipun namun rayuan-rayuan maut
pemodal tidak sesurut kondisi calon konsumennya, dengan media virtual yang
seemikian rupa pemodal memaksa semua orang terseret ke dalam kehidupan seperti
apa yang ia imajinasikan dalam iklan-iklan produknya. Ketiga, mendorong
para konsumennya (raja) untuk hidup tenang dan bermalas-malasan [xi],
sebab dengan terpenuhinya kebutuhan non-primer maka konsumen tidak lagi bingung
akan kondisi sosial sekitanya, dan hanya bermalasan-malasan dengan pola pikir
praktisnya. Maka dari itu sang gadis mungil menolak untuk tunduk akan ketiga
karakrter penjajah itu, ia harus berani melawan segala kemungkinan yang hendak
menimpa dirinya nanti di masa yang akan datang. Dengan segala gaya jajahan yang
neo-imperialis atau bahkan merkantilis, yang telah masuk dengan tanpa di sadari
oleh masyarakat kebanyakan, sehingga perang pasar dalam gaya penjajah tersebut
tak pernah di rasakan, juga mungkin karena cara mereka berperang seperti sebuah
permainan catur [xii],
yang dengan segala taktiknya bisa meobohkan raja yang berdiri di belakang
kavaleri. Si gadis terus terenyuh pikirannya tak kuasa menahan
dentuman-dentuman para penjajah yang bergaya ‘elok’ tersebut, kerena ia sadar
betul bahwa kekuatan militer atau semi-militer (condottieri*) lah yang masuk apabila barang dagangan mereka
tidak bisa masuk pada wilayah ekspansinya, ‘ya semuanya adalah perlomban
perebutan pasar (baca ; konsumen)’ pekik gadis itu, maka tak heran apabila mata
indahnya ternodai oleh pemaangan yang sama sekali tidak etis serta tadi, tidak
bermoral. Juga perlombaan perebutan pasar merupkan sebuah perang, karena perang
adalah perang, sebuah pertarungan tanpa batasan dan tak kenal perasan, dan
kemenangan adalah tujuan yang kepadanya semua pertimbangan lainnya di medan
perang harus tunduk, (serta) perilaku terhadap musuh tidak boleh dikenai
pertimbangan-pertimbangan moral umum, segala macam tipu daya dan kekerasan
merupakan hal yang sah apabila digunakan untuk melawan musuh [xiii].
Angannya selalu melayang jauh hingga teman-temannya sulit menerka apa yang ia
katakan, baik di dalam kelas atau di luar kelas, obrolan ‘sadis’ begitu yang si
gadis terima sebagi ‘sanksi-moral’ karena pola pikir yang melampaui teman
seusianya, tidak sesuai dengan ‘kaidah normal’ masa remaja, yang biasa di
jumpai. “jangan sampai seperti phalanx* yang harus berjalan di bawah
komando sang jendral”, begitu ucapnya saat menasehati temannya yang sedang curhat
akan permasalahan asmaranya, yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang
‘tidak masuk akal’ karena bertentangan dengan kebebasan untuk hidup serta
berekspresi seorang manusia. Perlahan si gadis membaca dan memahami 43 topik
atau kategori tipu daya yang didaftar dan dianalisis oleh Frontinus, orang
Romawi (35/40-103 M), yang diantaranya : bagaimana mengetahui rencana-rencana
musuh, meloloskan diri dari situasi yang sulit, dan bagaimana mengalihkan
perhatian musuh [xiv].
Dengan asumsi standar bahwa dengan memahami hal itu ia tidak terlalu sulit
dalam menghadapi orang yang ‘kurang’ disukainya, serta sebagai prisai dalam
kehidupannya di era yang tak berperasaan ini.
Terbesit dari
matanya yang indah pemandangan yang tak eksotis lagi, semuanya berubah dengan
derasnya teknologi yang mengalir serta perilaku konsumtif masyarakat
sekelilinya yang tak terbendung demi mengejar kata ‘sejajar’ dengan kaum elit,
atau bintang sinetron yang kini menjadi raja di alam pikiran masyarakatnya.
Walau ia harus hidup terasing dan di asingkan oleh kaum sebayanya, “no
problem, asalkan tidak terhanut oleh arus mainstream, it’s ok”. Karena
si gadis merasa bahwa menjadi diri sendiri itu mahal, bagai berlian dalam
samudra, dan selalu memegang prinsip yang di petuahkan oleh orang bijak bestari
“jadilah mawar yang tumbuh pada tebing”. Oleh karenanya ia terbiasa
dengan kesendirian, bersahabat dengan kesunyian, seperti Nietzsche yang soliter
dan berpikir jauh melampaui masa ia hidup. Kemudian ia juga memahami ucapan
dari guru spiritualnya, bahwa Ali bin Abi Thalib berkata bahwa betapa “nafsu
itu ibarat air laut. Ketika kita meminumnya, semakin hauslah kita”, dan
dengan nasihat ini ia aplikasikan dalam dirinya untuk meredam
keinginan-keinginan yang sifatnya non-hakiki, il faut tuer les pasions [xv]
nafsu-nafsu harus dimatikan, begitu yang si gadis camkan dalam akal
sehatnya yang tersisa dari semua yang ia miliki, sebab pelupuk matanya telah
hitam di nodai oleh polusi yang menjelma nyata.
Kamis, 02 Maret
2017
Oleh : Nur Umar (Ahonk)
[i]
Simone De Beauvoir, Second Sex (Fakta dan Mitos), terjemahan Toni B. Febriantono,
Narasi cetakan ke-I, Yogyakarta 2016. Pengantar.
[vi] Richard L. Kirkhan, Teori-Teori Kebenaran(Pengantar Kritis dan
Komprehensif), terjemahan M. Khozin, Nusa Media, cet ke-I, Bandung 2013.
Hal 61
[vii] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Lentera Dipantara, cet ke-XVI,
Jakarta Timur 2010. Hal 316.
[x] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, terjemahan Masturi Ilham, Pustaka
al-Kautsar cet ke-I, Jakarta Timur 2011. Hal 237.
[xii] Niccolo Machiavelli, The Art of War,terjemahan E. Setiyawati Alkhtab,
Narasi cet ke-II, Yogyakarta 2016. Prawacana xi.
* condottieri : Sebutan untuk tentara
bayaran.
* phalanx : sekelompok infanteri
bersenjata berat pada zaman Yunani kuno.
[xv] Nietzsche, Senjakala Berhala & Anti-Krist, terjemahan Hartono
Hadikusumo, Narasi cet ke-I, Yogyakarta 2016. Hal 57.
Biografi Singkat Mbah Syathori
KH. Abdullah Syathori – selanjutnya disebut Mbah Kyai Syathori –
lahir pada tahun 1905 di dusun Lontang Jaya, desa Panjalin, Majalengka.
Tiga Km sebelah barat Babakan Ciwaringin Cirebon. Meski tidak diketahui
secara pasti tanggal dan bulan keahirannya, beberapa sumber menyebutkan
beliau lahir pada hari Sabtu, sehingga beliau mendapat julukan pada
waktu kecil, yaitu ‘tunen’ merupakan kependekan dari ‘metu sabtu puput senen’.
Mbah Kyai Syathori terlahir dari keluarga ulama dan bangsawan.
Darah ulama mengalir dari jalur ayahnya KH. Sanawi bin Abdullah bin Muhamad Salabi dari Lontang Jaya. KH. Sanawi adalah seorang ulama penghulu yang merintis berdirinya Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid dengan mendirikan langgar (musholla). Meski perpindahan domisili beliau ke Arjawinangun belum di ketahui secara pasti, akan tetapi dari hipotesa yang berdasarkan pekerjaan, beliau berpindah karena tugas seorang penghulu sementara. KH. Abdullah bin KH. Hasanuddin (KH. Muhammad Salabi) kakek mbah kyai Syathori adalah sosok ulama dan pejuang di zamannya dalam mengusir penjajah, terutama ketika terjadi ‘Perang Kedongdong’. KH. Abdullah dan beberapa para kyai lain turut terjun ke medan peperangan, meski banyak yang gugur namun KH. Abdullah terhitung tokoh ulama yang selamat.
Dari jalur ibu, mbah kyai Syathori merupakan ulama berdarah bangsawan. Ibundanya, Nyi Hj. Arbiyah putri kyai Abdul Aziz bin Arja’in adalah keturunan Sultan Banten dari Sura Manggala yang memerintah kesultanan Banten pada tahun 1808. Dan pada ujung silsilah mbah kyai Syathori bertemu dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Mbah Kyai Syathori hidup dalam suasana keagamaan dan displin pendidikan ilmu yang tinggi. Berkat kecerdasan dan didikan orang tuanya, mbah kyai Syathori telah mampu menghafal Juz ’Amma dengan fasih. Seain dikenal sebagai anak yang cerdas dan rajin belajar, mbah kyai Syathori kecil juga dikenal sebagai anak periang dan suka berolahraga, khususnya sepak bola.
Riwayat Pendidikan Mbah Syathori
Menginjak usia remaja, orang tua mbah kyai Syathori mengirimkannya ke beberapa pesantren untuk menimba ilmu pengetahuan agama. Untuk pertama kalinya, mbah kyai Syathori menimba ilmu di pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, khususnya kepada kyai Ismail bin Adzro’i bin Nawawi dan juga kepada kyai Dawud, murid kyai Khalil Bangkalan. Setelah dari Babakan, mbah kyai Syathori menimba ilmu di pesantren Ciwedus, Cilimus Kuningan, di bawah asuhan KH. Sobari (1916), yang juga murid kyai Khalil Bangkalan. KH. Sobari adalah ulama yang kharismatis pada zamannya, banyak ulama Jawa Barat yang belajar kepadanya. Selain mbah kyai syathori, muridnya yang lain adalah KH. Sanusi yang kemudian menjadi ulam kharismatis di babakan ciwaringin dan KH. Abdul Halim. Mbah kyai Syathori sangat mengagumi dan terpengaruh oleh KH. Sobari, terutama dalam melantunkan lagu-lagu barzanji (marhabanan) yang dilakukan secara ekspresif dan juga melalui sikap mencintai serta menghormati keluarga dan keturunan Nabi Muhammad SAW.
Merasa tidak puas hanya belajar di Pesantren Cirebon dan sekitarnya, mbah kyai Syathori melanjutkan belajar di Jamsaren Solo, asuhan kyai Idris murid kyai Sholeh N’darat Semarang. Secara bersamaan, mbah kyai Syathori juga sekolah di Mambaul ‘Ulum yang terletak di Kauman dekat Keraton Solo, Jawa Tengah. Madrasah ini didirikan atas kerjasama kolonial dengan Keraton Surakarta Hadiningrat, dengan tujuan meluluskan calon ulama sekaligus juga penghulu.
Di Jamsaren Solo inilah karakter keilmuan dan ‘kealiman’ mbah kyai Syathori mulai terbentuk. Kyai Idris di kenal sebagai kyai spesialis dalam bidang ilmu fiqh (Islamic Law) dan Bahasa Arab. Dari kyai Idris-lah, mbah kyai Syathori banyak belajar dan rajin ngaji, menghafal, serta muthala’ah berbagai kitab. Bangunan pengetahuan (Epistemologi keilmuan) KH. A. Syathori mulai terbentuk di sini.
Adapun dari madrasah Mambaul ‘Ulum Solo, mbah kyai Syathori sebenarnya mendapatkan ijazah sekolah formal. Namun di kemudian hari ijazah ini sengaja beliau bakar. Ini dilakukan dengan tujuan agar tidak mengurangi keikhlasannya dalam mencari dan mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Mbah kyai Syathori khawatir dengan ijazah itu karena niat tulusnya dalam mencari dan mengembangkan ilmu menjadi goyah dan bergeser.
Selanjutnya mbah kyai Syathori belajar di Pesantren Tebuireng yang waktu itu diasuh oleh Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, murid istimewa kyai Khalil Bangkalan. Selain dikenal sebagai pendiri NU, mbah Hasyim juga dikenal sebagai tokoh pembaharu pendidikan Pesantren. Selain mengajarkan ilmu agama dalam Pesantren, mbah Hasyim juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Meski sempat mendapat kecaman dari kolonial, Pesantren Tebuireng menjadi masyhur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah.
Di Pesantren mbah Hasyim inilah Mbah Kyai Syathori memiliki kesempatan langsung untuk belajar dan memperkaya kajian dan bacaan keilmuan. Kitab tafsir besar seperti Tafsir Baidlawi dan kitab-kitab yang dikembangkan di Makkah pada waktu itu dikenalkan dan dikaji di pesantren ini. Sebagai kitab yang digunakan sebagai pegangan mengaji di pesantren ini, sehingga memiliki sanad yang langsung (muthasil) sampai kepada penulisnya (Mushanif). Dalam hal ini, mbah Hasyim mengijazahi mbah kyai Syathori dengan kata-kata “ijazah ammah wa muthlaqah tammah’’ yang tertulis dalam kitab al-Kifayah al-Mustafid dengan maksud menerangkan sanad kitab karya KH. Mahfudz Termas.
Selain belajar, mengaji, dan muthala’ah di pesantren Tebuireng, mbah Kyai Syatori juga di percaya Mbah Hasyim untuk mengajar Alfiyah ibn Malik. Di antara santri yang mengaji padanya adalah KH. Muhammad Ilyas, mantan Mentri Agama pada zaman Orde Lama, dan putra gurunya sendiri yang juga mantan mentri agama RI, yakni KH. Wahid Hasyim bin KH. Hasyim Asy’ari. Mbah Hasyim senang dan kagum dengan cara mengajar mba kyai Syathori. Hingga dalam suatu kesempatan mbah Hasyim berkata di hadapan para santri: “Arek-arek Cirebon, Indramayu lan liyan-liyane, yen ora bisa belajar maring aku, cukup kae karo Syathori”.
Tidak hanya demikian, Mbah Kyai Syathori pun berniat belajar ke guru dari guru-gurunya, yaitu Kyai Khalil Bangkalan. Mbah kyai Syathori sempat bertemu pada pengajian pasaran bulan ramadhan di pesantren Madura. Saat itu, kyai Khalil membaca do’a, para santri termasuk Mbah Kyai Syathori serentak mengamininya. Kemudian Mbah Kyai Syathori bertekad akan mengikuti pegajian Kyai Khalil pada bulan Syawal berikutnya. Namun sebelum Syawal itu tiba, Mbah Kyai Khalil Bangkalan yang dikenal sebagai wali Madura Jawa itu berpulang ke rahmatullah pada tahun 1925.
Mbah Kyai Syathori memang sangat mengagumi Kyai Khalil Bangkalan. Mbah Kyai Syathori menyatakan bahwa dalam tubuh dan perut gemuk Mbah Khalil, kalau dibedah, isinya nadzam Burdah dan Alfiyah. Kyai Khalil memang sejak muda dikenal hafal seribu deret Nadzam Alfiyah ibn Malik dengan sangat baik. Bahkan hafal meski dibaca secara terbalik, dari nadzam akhir secara runtut ke nadzam yang pertama, atau dalam istilah Jawa disebut nyungsang.
Melihat kecerdasan Mbah Kyai Syathori, gurunya Mbah Hasyim Asy’ari bermaksud menikahkannya dengan seorang putrinya. Namun, Mbah Kyai Syathori menghindar dengan bermain bola, suatu olah raga yang tidak disukai Mbah Hasyim. Pada saat yang sama, Mbah kyai Syathori juga telah dijodohkan oleh orang tuanya dengan Ny. Hj. Masturoh binti Adzro’i bin Muhammad Nawawi (Ki Glembo). Ny. Hj. Masturoh adalah santri putri cerdas yang sejak kecil dibesarkan dan dididik oleh ibunya sendiri yaitu Ny. Hj. Miryati binti H. Said dan juga bersama dengan ayah tirinya, Kyai Rofi’i bin Kyai Nawawi Kali Tengah Karena Ny. Hj. Masturoh ditinggal ayah kandungnya, kyai Adzro’i, sejak kecil. Kyai Adzro’i dan Kyai Rofi’i sediri adalah kakak beradik.
Pernikahan Mbah Kyai Syathori dengan Ny. Hj. Masturoh diduga kuat berlangsung pada tahun 1927. Mbah Hasyim Asy’ari hadir dalam acara akad nikah atas undangan KH. Rofi’i. Setelah melaksanakan akad nikah, atas dorongan orang tua dan mertuanya, Mbah Kyai Syathori pergi ke baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, pesta pernikahan diselenggarakan secara meriah pada tahun 1928.
Selanjutnya untuk beberapa lama Mbah Kyai Syathori menetap di Kali Tengah Plered Cirebon. Ini dikarenakan selain Mbah Kyai Syathori mengikuti keluarga istrinya di Kali Tengah, juga karena Mbah Syathori mengikuti tradisi kesantrian dan keulamaan di Cirebon. Saat itu ada asumsi kuat bahwa siapapun yang baru menyelesaikan masa belajarnya di Pesantren hendaknya jangan dulu pulang kampung dan mengamalkan ajaranya di tengah masyarakat sebelum belajar kepada Kyai Rofi’i Kali Tengah, yang secara kebetulan ayah tiri dari istrinya. Kyai Rofi’i sendiri saat itu dikenal ahli hikmah, yang membekali para santri dengan berbagai wirid, do’a, dan zikir.
Disamping mempelajari ilmu hikmah kepada Kyai Rofi’i, Mbah Kyai Syatori juga membuka pengajian kitab kuning untuk masyarkat Kali Tengah dan sekitarnya. Sebenarnya tradisi mengajar santri (muruk ngaji) merupakan hal biasa bagi Mbah Kyai Syathori sejak beliau masih belajar di Pesantren, baik di Babakan, Solo, maupun Tebuireng. Akan tetapi, mengajar kitab kuning di Kali Tengah bermakna lain, karena sebagai persiapanya untuk menjadi guru bagi santri dan masyarakat. Adapun di antara kitab yang dibaca Mbah Kyai Syathori kepada para santrinya dan masyarakat. Di antaranya adalah kitab Shahih Bukhari.
Mulai Membangun Pesantren Arjawinangun
Setelah beberapa lama tinggal di Kali Tengah Plered Cirebon, Mbah Kyai Syathori kemudian pindah ke daerah asalnya yaitu Arjawinangun Cirebon. Perpindahan ini dimungkinkan karena dua hal. Pertama, karena permintaan ayahandanya KH. Sanawi agar beliau mengembangkan ilmu di daerah asalnya. Kedua, karena Kali Tengah Plered pada dasarnya adalah daerah perdagangan dan bisnis, sementara pribadi Mbah Kyai Syathori tidak terlalu cenderung pada bisnis. Karena itu, Mbah Kyai Syathori memilih Arjawinangun karena kecenderungannya pada pengembangan keilmuan. Ini terjadi pada tahun 30-an.
Mbah Kyai Syathori, pendiri dan pengasuh Pesantren Arjawinangun, adalah sosok Kyai yang tidak terlepas dari karakter dan prilaku khas para kyai Pesantren. Beliau bukan hanya kyai Pesantren yang bergelut dengan lembaran-lembaran kitab kuning, tetapi juga aktif dalam ranah sosial dan politik dengan telibat aktif di NU antara tahun 50-an hingga 70-an. Mbah Kyai Syathori pernah menjadi Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Beliau juga dikenal dengan ide-ide dan langkah progresifnya. Sebut saja sikap yang diambilnya dalam menghadapi persoalan pada saat itu, di mana orang diharamkan menulis Al-Qur’an dengan kapur tulis karena takut debunya diinjak-injak saat dihapus. Hampir seluruh Kyai Cirebon mengharamkan menulis Al-Qur’an dengan kapur tulis. Namun mbah Syathori menghalalkan dan melakukannya.
Selain itu, Mbah Kyai Syathori juga dikenal sebagai kyai kharismatik, santri kesayangan, dan santri teladan Mbah Hasyim Asy’ari. Karena itulah, Mbah Kyai Syathori sangat dihormati, disegani, dan menjadi rujukan umat dan birokrasi negara dalam hal-hal yang terkait dengan hukum syara’. Menurut para santrinya, masyarakat sangat segan dan hormat kepada beliau.
Mbah Kyai Syathori juga melakukan langkah-langkah khusus, yang sekarang ini bisa disebut Pemberdayaan Perempuan. Ini dilakukan dengan menyelenggarakan pengajian keagamaan secara khusus bagi perempuan. Mbah Kyai Syathori dikenal sangat tekun dan teliti dalam memperhatikan, memelihara, dan mengembangkan pengajian dan madrasahnya. Jika memiliki jadwal mengajar, beliau tidak pernah meninggalkan kelas, sampai para sisiwanya memahami dengan baik apa yang disampaikannya.
Beliau
mendedikasikan seluruh hidup dan waktunya untuk mengajar dan
mengembangkan Pesantren. Setiap waktu shalat, beliau selalu memimpin
para santrinya berjama’ah, kecuali ada udzur. Sehabis jama’ah
Subuh, beliau mengajarkan Al-Qur’an kepada para santrinya sampai pukul
06.30.
Selanjutnya, dari 08.00 – 10.00 beliau mengadakan pengajian kitab dengan pola madrasah untuk santrinya yang dewasa. Setelah itu, beliau mengadakan pengajian kitab dengan pola yang sama untuk para santri yang kecil hingga pukul 12.00.
Setelah istirahat sejenak, beliau memimpin shalat Dzuhur. Mulai sekitar pukul 13.00, kegiatan beljar mengajar bagi para santri dilakukan lagi sampai pukul 17.00. Setelah jama’ah Maghrib, beliau kembali mengadakan pengajian kitab kuning sampai pukul 20.00. Waktu yang tersisa dipergunakan untuk istirahat, kadang untuk menerima tamu.
Di usia 50-an, Mbah Kyai Syathori semakin istqomah hidupnya. Kegiatannya tidak lain di seputar mushalla, Pesantren. Dan setiap habis sholat Jum’at, beliau berziarah ke maqbarah ayahnya, KH. Sanawi. Setelah itu, beliau mampir ke rumah-rumah penduduk, untuk sekedar berbincang-bincang ringan, menyelami dan melayani masalah yang mereka hadapi.
Pada Hari Wafatnya
Tepat pada hari Kamis, tanggal 6 Februari 1969 M atau 19 Dzulqa’dah, Mbah Kyai Syathori berpulang ke Rahmatullah. Hari itu adalah hari berkabung bagi masyarakat Arjawinangun khususnya, dan masyarakat muslim Cirebon pada umumnya. Kepulangan beliau karena penyakit jantung yang dideritanya. Masyarakat sangat kehilangan karena wafatnya.
Banyak kisah menarik disebutkan seputar wafatnya Mbah Kyai Syathori, diantaranya adalah saat menjelang pemakaman beliau. Saat itu Arjawinangun bagai lautan manusia. Semua masyarakat mengungkapkan kesedihannya dengan menghantarkan kyai tercinta ke maqbarah. Sepanjang rumah Mbah Kyai Syathori hingga ke maqbarah Kiruncum sekitar 1 Km dipenuhi manusia yang mengantarkan jenazah. Lembaga pemerintahan, institusi pemerintah dan swasta di Arjawinangun dan Junjang pada hari itu meliburkan diri, turut berduka atas wafatnya Mbah Kyai Syathori. Bukan hanya itu, santri dan msyarakat mendo’akan beliau dengan membaca Al-Qur’an di maqbarah selama 40 hari secara terus menerus.
Ada kesaksian yang unik yang di ceritakan H. Sayidi, salah seorang staf pengajar pesantren saat masih dipimpin Mbah Kyai Syathori. Menurutnya tanda-tanda Mbah Kyai Syathori wafat jelas diisyaratkan oleh Mbah Kyai Syathori sendiri. Dengan beberapa indikasi: (1) Setengah bulan sebelumnya, Mbah Kyai Syathori minta orang-orang dari desa Gintung untuk datang dan melakukan bersih-bersih di pesantren dan rumah pengasuh. (2) Ini dilakukan dengan alasan bahwa beliau akan kedatangan tamu, manusia yang sangat banyak jumlahnya. (3) Tiga hari sebelum wafat, Mbah Kyai Syathori menyatakan bahwa beliau akan membangun Pesantren yang tidak ada di dunia ini. (4) Pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.00 WIB pada hari wafatnya Mbah Kyai Syathori menyatakan bahwa dirinya akan tidur untuk selama-lamanya. Sekitar pukul 11.00 WIB kemudian beliau pulang ke Rahmatullah. H. Sayidi juga menceritakan bahwa banyak kyai-kyai Cirebon dan luar Cirebon untuk berta’ziyah, mensholatkan, dan mengantarkan ke maqbarah. KH. Sanusi dari pesantren Bababkan Ciwaringin datang dengan para santrinya dengan berjalan kaki.
Rombongan ta’ziyah dari Pesantren Buntet dipimpin KH. Hawi. Setelah selesai melaksanakan sholat jeazah untuk almaghurlah Mbah Kyai Syathori, KH. Hawi berbicara di hadapan santri dan para hadirin semua. Beliau menyatakan bahwa : “Kyai Syathori ini keliahatannya saja meninggal, tetapi sesungguhnya masih hidup “bal ahya’un ‘inda rabbikum”. Buktinya apa? Lah, wong aku salam kok Kyai Syathori malah menjawabnya. Mayit mana yang bisa menjawab salam? Al-marhum ini sunggug bukan manusia biasa seperti kita-kita ini”. Demikian Wallahhu A’lam.
Silsilah K.H. A. Syathori.
Sumber :
– Dzikroyat, cetakan ke-29 tahun 1435 H/2014 M.
– Buku Pemandu Kitab Kuning 2007, penulis Prof. DR. A. Chozin Nasuha, M.A
*tulisan ini diambil dari situs resmi Pondok Pesantren Dar Al Tauhid Arjawinangun,
http://daraltauhid.com/biografi-singkat-mbah-syathori/
Darah ulama mengalir dari jalur ayahnya KH. Sanawi bin Abdullah bin Muhamad Salabi dari Lontang Jaya. KH. Sanawi adalah seorang ulama penghulu yang merintis berdirinya Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid dengan mendirikan langgar (musholla). Meski perpindahan domisili beliau ke Arjawinangun belum di ketahui secara pasti, akan tetapi dari hipotesa yang berdasarkan pekerjaan, beliau berpindah karena tugas seorang penghulu sementara. KH. Abdullah bin KH. Hasanuddin (KH. Muhammad Salabi) kakek mbah kyai Syathori adalah sosok ulama dan pejuang di zamannya dalam mengusir penjajah, terutama ketika terjadi ‘Perang Kedongdong’. KH. Abdullah dan beberapa para kyai lain turut terjun ke medan peperangan, meski banyak yang gugur namun KH. Abdullah terhitung tokoh ulama yang selamat.
Dari jalur ibu, mbah kyai Syathori merupakan ulama berdarah bangsawan. Ibundanya, Nyi Hj. Arbiyah putri kyai Abdul Aziz bin Arja’in adalah keturunan Sultan Banten dari Sura Manggala yang memerintah kesultanan Banten pada tahun 1808. Dan pada ujung silsilah mbah kyai Syathori bertemu dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Mbah Kyai Syathori hidup dalam suasana keagamaan dan displin pendidikan ilmu yang tinggi. Berkat kecerdasan dan didikan orang tuanya, mbah kyai Syathori telah mampu menghafal Juz ’Amma dengan fasih. Seain dikenal sebagai anak yang cerdas dan rajin belajar, mbah kyai Syathori kecil juga dikenal sebagai anak periang dan suka berolahraga, khususnya sepak bola.
Riwayat Pendidikan Mbah Syathori
Menginjak usia remaja, orang tua mbah kyai Syathori mengirimkannya ke beberapa pesantren untuk menimba ilmu pengetahuan agama. Untuk pertama kalinya, mbah kyai Syathori menimba ilmu di pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, khususnya kepada kyai Ismail bin Adzro’i bin Nawawi dan juga kepada kyai Dawud, murid kyai Khalil Bangkalan. Setelah dari Babakan, mbah kyai Syathori menimba ilmu di pesantren Ciwedus, Cilimus Kuningan, di bawah asuhan KH. Sobari (1916), yang juga murid kyai Khalil Bangkalan. KH. Sobari adalah ulama yang kharismatis pada zamannya, banyak ulama Jawa Barat yang belajar kepadanya. Selain mbah kyai syathori, muridnya yang lain adalah KH. Sanusi yang kemudian menjadi ulam kharismatis di babakan ciwaringin dan KH. Abdul Halim. Mbah kyai Syathori sangat mengagumi dan terpengaruh oleh KH. Sobari, terutama dalam melantunkan lagu-lagu barzanji (marhabanan) yang dilakukan secara ekspresif dan juga melalui sikap mencintai serta menghormati keluarga dan keturunan Nabi Muhammad SAW.
Merasa tidak puas hanya belajar di Pesantren Cirebon dan sekitarnya, mbah kyai Syathori melanjutkan belajar di Jamsaren Solo, asuhan kyai Idris murid kyai Sholeh N’darat Semarang. Secara bersamaan, mbah kyai Syathori juga sekolah di Mambaul ‘Ulum yang terletak di Kauman dekat Keraton Solo, Jawa Tengah. Madrasah ini didirikan atas kerjasama kolonial dengan Keraton Surakarta Hadiningrat, dengan tujuan meluluskan calon ulama sekaligus juga penghulu.
Di Jamsaren Solo inilah karakter keilmuan dan ‘kealiman’ mbah kyai Syathori mulai terbentuk. Kyai Idris di kenal sebagai kyai spesialis dalam bidang ilmu fiqh (Islamic Law) dan Bahasa Arab. Dari kyai Idris-lah, mbah kyai Syathori banyak belajar dan rajin ngaji, menghafal, serta muthala’ah berbagai kitab. Bangunan pengetahuan (Epistemologi keilmuan) KH. A. Syathori mulai terbentuk di sini.
Adapun dari madrasah Mambaul ‘Ulum Solo, mbah kyai Syathori sebenarnya mendapatkan ijazah sekolah formal. Namun di kemudian hari ijazah ini sengaja beliau bakar. Ini dilakukan dengan tujuan agar tidak mengurangi keikhlasannya dalam mencari dan mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Mbah kyai Syathori khawatir dengan ijazah itu karena niat tulusnya dalam mencari dan mengembangkan ilmu menjadi goyah dan bergeser.
Selanjutnya mbah kyai Syathori belajar di Pesantren Tebuireng yang waktu itu diasuh oleh Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, murid istimewa kyai Khalil Bangkalan. Selain dikenal sebagai pendiri NU, mbah Hasyim juga dikenal sebagai tokoh pembaharu pendidikan Pesantren. Selain mengajarkan ilmu agama dalam Pesantren, mbah Hasyim juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Meski sempat mendapat kecaman dari kolonial, Pesantren Tebuireng menjadi masyhur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah.
Di Pesantren mbah Hasyim inilah Mbah Kyai Syathori memiliki kesempatan langsung untuk belajar dan memperkaya kajian dan bacaan keilmuan. Kitab tafsir besar seperti Tafsir Baidlawi dan kitab-kitab yang dikembangkan di Makkah pada waktu itu dikenalkan dan dikaji di pesantren ini. Sebagai kitab yang digunakan sebagai pegangan mengaji di pesantren ini, sehingga memiliki sanad yang langsung (muthasil) sampai kepada penulisnya (Mushanif). Dalam hal ini, mbah Hasyim mengijazahi mbah kyai Syathori dengan kata-kata “ijazah ammah wa muthlaqah tammah’’ yang tertulis dalam kitab al-Kifayah al-Mustafid dengan maksud menerangkan sanad kitab karya KH. Mahfudz Termas.
Selain belajar, mengaji, dan muthala’ah di pesantren Tebuireng, mbah Kyai Syatori juga di percaya Mbah Hasyim untuk mengajar Alfiyah ibn Malik. Di antara santri yang mengaji padanya adalah KH. Muhammad Ilyas, mantan Mentri Agama pada zaman Orde Lama, dan putra gurunya sendiri yang juga mantan mentri agama RI, yakni KH. Wahid Hasyim bin KH. Hasyim Asy’ari. Mbah Hasyim senang dan kagum dengan cara mengajar mba kyai Syathori. Hingga dalam suatu kesempatan mbah Hasyim berkata di hadapan para santri: “Arek-arek Cirebon, Indramayu lan liyan-liyane, yen ora bisa belajar maring aku, cukup kae karo Syathori”.
Tidak hanya demikian, Mbah Kyai Syathori pun berniat belajar ke guru dari guru-gurunya, yaitu Kyai Khalil Bangkalan. Mbah kyai Syathori sempat bertemu pada pengajian pasaran bulan ramadhan di pesantren Madura. Saat itu, kyai Khalil membaca do’a, para santri termasuk Mbah Kyai Syathori serentak mengamininya. Kemudian Mbah Kyai Syathori bertekad akan mengikuti pegajian Kyai Khalil pada bulan Syawal berikutnya. Namun sebelum Syawal itu tiba, Mbah Kyai Khalil Bangkalan yang dikenal sebagai wali Madura Jawa itu berpulang ke rahmatullah pada tahun 1925.
Mbah Kyai Syathori memang sangat mengagumi Kyai Khalil Bangkalan. Mbah Kyai Syathori menyatakan bahwa dalam tubuh dan perut gemuk Mbah Khalil, kalau dibedah, isinya nadzam Burdah dan Alfiyah. Kyai Khalil memang sejak muda dikenal hafal seribu deret Nadzam Alfiyah ibn Malik dengan sangat baik. Bahkan hafal meski dibaca secara terbalik, dari nadzam akhir secara runtut ke nadzam yang pertama, atau dalam istilah Jawa disebut nyungsang.
Melihat kecerdasan Mbah Kyai Syathori, gurunya Mbah Hasyim Asy’ari bermaksud menikahkannya dengan seorang putrinya. Namun, Mbah Kyai Syathori menghindar dengan bermain bola, suatu olah raga yang tidak disukai Mbah Hasyim. Pada saat yang sama, Mbah kyai Syathori juga telah dijodohkan oleh orang tuanya dengan Ny. Hj. Masturoh binti Adzro’i bin Muhammad Nawawi (Ki Glembo). Ny. Hj. Masturoh adalah santri putri cerdas yang sejak kecil dibesarkan dan dididik oleh ibunya sendiri yaitu Ny. Hj. Miryati binti H. Said dan juga bersama dengan ayah tirinya, Kyai Rofi’i bin Kyai Nawawi Kali Tengah Karena Ny. Hj. Masturoh ditinggal ayah kandungnya, kyai Adzro’i, sejak kecil. Kyai Adzro’i dan Kyai Rofi’i sediri adalah kakak beradik.
Pernikahan Mbah Kyai Syathori dengan Ny. Hj. Masturoh diduga kuat berlangsung pada tahun 1927. Mbah Hasyim Asy’ari hadir dalam acara akad nikah atas undangan KH. Rofi’i. Setelah melaksanakan akad nikah, atas dorongan orang tua dan mertuanya, Mbah Kyai Syathori pergi ke baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, pesta pernikahan diselenggarakan secara meriah pada tahun 1928.
Selanjutnya untuk beberapa lama Mbah Kyai Syathori menetap di Kali Tengah Plered Cirebon. Ini dikarenakan selain Mbah Kyai Syathori mengikuti keluarga istrinya di Kali Tengah, juga karena Mbah Syathori mengikuti tradisi kesantrian dan keulamaan di Cirebon. Saat itu ada asumsi kuat bahwa siapapun yang baru menyelesaikan masa belajarnya di Pesantren hendaknya jangan dulu pulang kampung dan mengamalkan ajaranya di tengah masyarakat sebelum belajar kepada Kyai Rofi’i Kali Tengah, yang secara kebetulan ayah tiri dari istrinya. Kyai Rofi’i sendiri saat itu dikenal ahli hikmah, yang membekali para santri dengan berbagai wirid, do’a, dan zikir.
Disamping mempelajari ilmu hikmah kepada Kyai Rofi’i, Mbah Kyai Syatori juga membuka pengajian kitab kuning untuk masyarkat Kali Tengah dan sekitarnya. Sebenarnya tradisi mengajar santri (muruk ngaji) merupakan hal biasa bagi Mbah Kyai Syathori sejak beliau masih belajar di Pesantren, baik di Babakan, Solo, maupun Tebuireng. Akan tetapi, mengajar kitab kuning di Kali Tengah bermakna lain, karena sebagai persiapanya untuk menjadi guru bagi santri dan masyarakat. Adapun di antara kitab yang dibaca Mbah Kyai Syathori kepada para santrinya dan masyarakat. Di antaranya adalah kitab Shahih Bukhari.
Mulai Membangun Pesantren Arjawinangun
Setelah beberapa lama tinggal di Kali Tengah Plered Cirebon, Mbah Kyai Syathori kemudian pindah ke daerah asalnya yaitu Arjawinangun Cirebon. Perpindahan ini dimungkinkan karena dua hal. Pertama, karena permintaan ayahandanya KH. Sanawi agar beliau mengembangkan ilmu di daerah asalnya. Kedua, karena Kali Tengah Plered pada dasarnya adalah daerah perdagangan dan bisnis, sementara pribadi Mbah Kyai Syathori tidak terlalu cenderung pada bisnis. Karena itu, Mbah Kyai Syathori memilih Arjawinangun karena kecenderungannya pada pengembangan keilmuan. Ini terjadi pada tahun 30-an.
Mbah Kyai Syathori, pendiri dan pengasuh Pesantren Arjawinangun, adalah sosok Kyai yang tidak terlepas dari karakter dan prilaku khas para kyai Pesantren. Beliau bukan hanya kyai Pesantren yang bergelut dengan lembaran-lembaran kitab kuning, tetapi juga aktif dalam ranah sosial dan politik dengan telibat aktif di NU antara tahun 50-an hingga 70-an. Mbah Kyai Syathori pernah menjadi Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Beliau juga dikenal dengan ide-ide dan langkah progresifnya. Sebut saja sikap yang diambilnya dalam menghadapi persoalan pada saat itu, di mana orang diharamkan menulis Al-Qur’an dengan kapur tulis karena takut debunya diinjak-injak saat dihapus. Hampir seluruh Kyai Cirebon mengharamkan menulis Al-Qur’an dengan kapur tulis. Namun mbah Syathori menghalalkan dan melakukannya.
Selain itu, Mbah Kyai Syathori juga dikenal sebagai kyai kharismatik, santri kesayangan, dan santri teladan Mbah Hasyim Asy’ari. Karena itulah, Mbah Kyai Syathori sangat dihormati, disegani, dan menjadi rujukan umat dan birokrasi negara dalam hal-hal yang terkait dengan hukum syara’. Menurut para santrinya, masyarakat sangat segan dan hormat kepada beliau.
Mbah Kyai Syathori juga melakukan langkah-langkah khusus, yang sekarang ini bisa disebut Pemberdayaan Perempuan. Ini dilakukan dengan menyelenggarakan pengajian keagamaan secara khusus bagi perempuan. Mbah Kyai Syathori dikenal sangat tekun dan teliti dalam memperhatikan, memelihara, dan mengembangkan pengajian dan madrasahnya. Jika memiliki jadwal mengajar, beliau tidak pernah meninggalkan kelas, sampai para sisiwanya memahami dengan baik apa yang disampaikannya.

Selanjutnya, dari 08.00 – 10.00 beliau mengadakan pengajian kitab dengan pola madrasah untuk santrinya yang dewasa. Setelah itu, beliau mengadakan pengajian kitab dengan pola yang sama untuk para santri yang kecil hingga pukul 12.00.
Setelah istirahat sejenak, beliau memimpin shalat Dzuhur. Mulai sekitar pukul 13.00, kegiatan beljar mengajar bagi para santri dilakukan lagi sampai pukul 17.00. Setelah jama’ah Maghrib, beliau kembali mengadakan pengajian kitab kuning sampai pukul 20.00. Waktu yang tersisa dipergunakan untuk istirahat, kadang untuk menerima tamu.
Di usia 50-an, Mbah Kyai Syathori semakin istqomah hidupnya. Kegiatannya tidak lain di seputar mushalla, Pesantren. Dan setiap habis sholat Jum’at, beliau berziarah ke maqbarah ayahnya, KH. Sanawi. Setelah itu, beliau mampir ke rumah-rumah penduduk, untuk sekedar berbincang-bincang ringan, menyelami dan melayani masalah yang mereka hadapi.
Pada Hari Wafatnya
Tepat pada hari Kamis, tanggal 6 Februari 1969 M atau 19 Dzulqa’dah, Mbah Kyai Syathori berpulang ke Rahmatullah. Hari itu adalah hari berkabung bagi masyarakat Arjawinangun khususnya, dan masyarakat muslim Cirebon pada umumnya. Kepulangan beliau karena penyakit jantung yang dideritanya. Masyarakat sangat kehilangan karena wafatnya.
Banyak kisah menarik disebutkan seputar wafatnya Mbah Kyai Syathori, diantaranya adalah saat menjelang pemakaman beliau. Saat itu Arjawinangun bagai lautan manusia. Semua masyarakat mengungkapkan kesedihannya dengan menghantarkan kyai tercinta ke maqbarah. Sepanjang rumah Mbah Kyai Syathori hingga ke maqbarah Kiruncum sekitar 1 Km dipenuhi manusia yang mengantarkan jenazah. Lembaga pemerintahan, institusi pemerintah dan swasta di Arjawinangun dan Junjang pada hari itu meliburkan diri, turut berduka atas wafatnya Mbah Kyai Syathori. Bukan hanya itu, santri dan msyarakat mendo’akan beliau dengan membaca Al-Qur’an di maqbarah selama 40 hari secara terus menerus.
Ada kesaksian yang unik yang di ceritakan H. Sayidi, salah seorang staf pengajar pesantren saat masih dipimpin Mbah Kyai Syathori. Menurutnya tanda-tanda Mbah Kyai Syathori wafat jelas diisyaratkan oleh Mbah Kyai Syathori sendiri. Dengan beberapa indikasi: (1) Setengah bulan sebelumnya, Mbah Kyai Syathori minta orang-orang dari desa Gintung untuk datang dan melakukan bersih-bersih di pesantren dan rumah pengasuh. (2) Ini dilakukan dengan alasan bahwa beliau akan kedatangan tamu, manusia yang sangat banyak jumlahnya. (3) Tiga hari sebelum wafat, Mbah Kyai Syathori menyatakan bahwa beliau akan membangun Pesantren yang tidak ada di dunia ini. (4) Pagi-pagi sekali sekitar pukul 06.00 WIB pada hari wafatnya Mbah Kyai Syathori menyatakan bahwa dirinya akan tidur untuk selama-lamanya. Sekitar pukul 11.00 WIB kemudian beliau pulang ke Rahmatullah. H. Sayidi juga menceritakan bahwa banyak kyai-kyai Cirebon dan luar Cirebon untuk berta’ziyah, mensholatkan, dan mengantarkan ke maqbarah. KH. Sanusi dari pesantren Bababkan Ciwaringin datang dengan para santrinya dengan berjalan kaki.
Rombongan ta’ziyah dari Pesantren Buntet dipimpin KH. Hawi. Setelah selesai melaksanakan sholat jeazah untuk almaghurlah Mbah Kyai Syathori, KH. Hawi berbicara di hadapan santri dan para hadirin semua. Beliau menyatakan bahwa : “Kyai Syathori ini keliahatannya saja meninggal, tetapi sesungguhnya masih hidup “bal ahya’un ‘inda rabbikum”. Buktinya apa? Lah, wong aku salam kok Kyai Syathori malah menjawabnya. Mayit mana yang bisa menjawab salam? Al-marhum ini sunggug bukan manusia biasa seperti kita-kita ini”. Demikian Wallahhu A’lam.
Silsilah K.H. A. Syathori.
- Sunan Gunung Jati Cirebon
- Maulana Hasanudin
- Maulana Yusup
- Muhammad
- Sultan Al-Makhir
- Sultan Abdul Ma’ali
- Sultan Ageng Tirtayasa
- Sultan Abu Nasiri
- Sultan A. Mahasyim
- Sultan M. Syifa
- Sultan Kuh-Arif
- K. Agung Sanawi
- Kyai Sholeh Penghulu Cirebon
- Kyai Arja’in Penghulu Kesepuhan
- Abdul Aziz Penghulu Kesepuhan
- Hj. Arbiyah binti Kyai Abdul Aziz (menikah) KH. Sanawi bin Abdullah bin Muhamad Salabi.
- A. Syathori (di lahirkan pada tahun 1905, di dusun Lontang Jaya, desa Panjalin, kabupaten Majalengka)
Sumber :
– Dzikroyat, cetakan ke-29 tahun 1435 H/2014 M.
– Buku Pemandu Kitab Kuning 2007, penulis Prof. DR. A. Chozin Nasuha, M.A
*tulisan ini diambil dari situs resmi Pondok Pesantren Dar Al Tauhid Arjawinangun,
http://daraltauhid.com/biografi-singkat-mbah-syathori/
Negeri Sang Idola
Jenuh aku melihat
Tentang informasi penuh muslihat
Dimunculkan untuk menarik umat
Dengan sejuta trik dan siasat
Tentang informasi penuh muslihat
Dimunculkan untuk menarik umat
Dengan sejuta trik dan siasat
Lebih jenuh lagi
Ribuan pembaca tertipu isi
Tanpa tabayun mereka mengamini
Bahkan membela sampai mati
Ribuan pembaca tertipu isi
Tanpa tabayun mereka mengamini
Bahkan membela sampai mati
Informasi semakin diperbudak kepentingan
Kebenaran sudah bukan keutamaan
Apalagi bicara kenetralan
Seperti mencari jarum dalam jerami kebakaran
Kebenaran sudah bukan keutamaan
Apalagi bicara kenetralan
Seperti mencari jarum dalam jerami kebakaran
Lebih lucu lagi melihat media sosial
Sedikit-sedikit menjadi viral
Pengalihan isu mudah dilakukan
Yang penting pembaca tertawa
Mereka pasti lupa bahwa
Ada penderitaan dan ketidakberesan
Sedikit-sedikit menjadi viral
Pengalihan isu mudah dilakukan
Yang penting pembaca tertawa
Mereka pasti lupa bahwa
Ada penderitaan dan ketidakberesan
Perang argumen dikatakan dewasa
Padahal isinya hanya saling cela
Maju kedepan dan berkata
Bahwa kami benar dan kalian salah
Padahal isinya hanya saling cela
Maju kedepan dan berkata
Bahwa kami benar dan kalian salah
Diskusi bukan lagi menemukan titik terang
Yang ada hanya tentang kalah dan menang
Saat orang lain berpendapat
Bukan memperhatikan isinya
Tapi mencari argumen tepat
Untuk membantah isinya
Yang ada hanya tentang kalah dan menang
Saat orang lain berpendapat
Bukan memperhatikan isinya
Tapi mencari argumen tepat
Untuk membantah isinya
Diskusi menjadi pelampiasan emosi di muka
Siram air dan gebrak meja biasa saja
Meski mereka sadar ditonton jutaan masa
Dengan hati yakin ia berkata
Ah, biarkan saja
Toh pengikutku akan tetap membela
Siram air dan gebrak meja biasa saja
Meski mereka sadar ditonton jutaan masa
Dengan hati yakin ia berkata
Ah, biarkan saja
Toh pengikutku akan tetap membela
oleh : Hamdan
Amboy, Kutu Kupret dan Elang
Seperti malam-malam yang kemarin, di tengah kesunyian dan keheningan
malam kali ini Amboy kembali terbangun. Entah apa yang membuatnya
terbangun. Di saat semua makhluk hidup yang berada di permukaan bumi
terlelap beristirahat untuk mengisi energi guna menjalani waktu di pagi
nanti, dengan sekonyong-konyongnya dia malah terjaga sedini ini.
Dilihatnya jam yang tergantung di dinding yang sudah agak sedikit kusam karena debu tapi masih bisa diandalkan, ia masih menunjukkan pukul setengah empat dini hari. Amboy meratapi keterjagaannya yang terlalu dini itu, 'Astaghfirullah, kok masih jam setengah empat sih? Kenapa ini?'.
Kemudian Amboy kembali mencoba memeremkan kedua matanya berharap bisa kembali terlelap hingga fajar tiba, namun sekuat apapun ia mencoba kedua matanya tetap tak mau merem juga. Dia kembali berusaha, kali ini usahanya untuk bisa terlelap dibarengi dengan sedikit mantra-mantra, namun semuanya sama saja--sia-sia-- pada akhirnya dia masih terjaga.
Amboy berpikir apa yang sebenarnya terjadi sehingga membuat dia terbangun sedini ini, setidaknya pada beberapa malam ini. Pikiran Amboy pun melayang, berpikir, tidak ada masalah yang mengganggu pikiran dan hatinya. Kemudian dia mencoba mengingat-ingat kembali, tidak ada masalah. Apa sih sebenarnya yang terjadi?
Tiba-tiba Amboy dikagetkan dengan 'gerayangan-gerayangan' kecil yang merayap-rayap bebas pada tengkuk lehernya. Hal itu menyebabkan semua bulu kuduknya berdiri. Sontak Amboy pun bangun untuk memastikan apa yang barusan menggerayangi tengkuknya tadi.
'Aish... Dasar kampret !!! Ternyata yang selama ini bangunin gue malem-malem tu eluh ye, emang luh ye, dasar kampret !!! Pantesan kulit gue gatel-gatel !!!'
Terlihat beberapa kutu kupret yang sedang merayap-rayap di atas bantal yang tadi dia tiduri. Bentuknya hitam, berkaki enam, perutnya nampak gendut terisi darah dan jalannya pun terlihat lembon. Amboy pun langsung merapal kata-kata yang dianggap mewakili kekesalannya pada si kupret, lalu dengan sabar menyomoti beberapa kupret lembon itu dan memasukkannya ke dalam botol.
'Hmmmm... Mampus luh !!!'
Dengan puas Amboy tertawa lepas, karena masalah yang membuatnya terjaga sudah diamankan dan disingkirkan ke dalam botol bekas. Namun tetap saja Amboy tidak bisa melanjutkan tidurnya. Kini jam sudah menunjukkan pukul empat. Berarti kumandang fajar segera tiba.
Amboy pun berpikir apa yang akan dia lakukan sembari menunggu fajar. Akhirnya dia menemukan ide untuk menyelesaikan puisi 'Elang' yang kemarin dibuatnya. Dia pun mencari di mana dia meletakkannya. Setelah ketemu diapun merampungkan puisinya.
Elang
Aku Elang bukan Perkutut, makanku daging bukan rumput
Aku Elang bukan Merpati, hidupku melanglang melintang bukan di peti mati
Aku Elang bukan Kenari, pribadiku yang garang tak bisa kau ajak kesana dan kemari
Aku Elang bukan yang lain, mampu menembus lorong labirin
Hidupku bebas hidupku lepas, menjelajah dimensi yang tiada batas
Tubuhku kekar sayapku lebar, hidupku yang sangar tak kan pernah mampu kau jabar
Mataku jernih paruhku tajam, kukombinasikan untuk menikam
Cakarku kuat menjemput nyawa, inilah hidup, satu sama lain mangsa memangsa
Aku bukan burung rumahan, terkurung di sangkar murahan
Aku bebas karena Tuhan, Dia takdirkan diriku untuk menghirup kebebasan
Lihatlah ke atas keangkasa, di sana aku terbang gagah perkasa
Akulah Elang bukan yang lain, yang seenaknya sendiri bisa kau permainin
Akulah Elang
Aku yang garang
Aku pemangsa
Aku perkasa
Elang...
Kemudian di bagian bawah puisinya ia tulis
'Amboy'
[040317]
Kumandang fajar pun menggema di seisi negeri. Amboy yang sedari tadi menunggu fajar pun lekas bangkit berdiri menyucikan hati, pikiran dan perbuatan. Setelah sekian menit bersiap, Amboy siap dengan sarungnya menghadap Pemilik alam semesta.
'Allahu Akbar'
Karya : Fathur Rozak, Alumni Dar Al Tauhid
Dilihatnya jam yang tergantung di dinding yang sudah agak sedikit kusam karena debu tapi masih bisa diandalkan, ia masih menunjukkan pukul setengah empat dini hari. Amboy meratapi keterjagaannya yang terlalu dini itu, 'Astaghfirullah, kok masih jam setengah empat sih? Kenapa ini?'.
Kemudian Amboy kembali mencoba memeremkan kedua matanya berharap bisa kembali terlelap hingga fajar tiba, namun sekuat apapun ia mencoba kedua matanya tetap tak mau merem juga. Dia kembali berusaha, kali ini usahanya untuk bisa terlelap dibarengi dengan sedikit mantra-mantra, namun semuanya sama saja--sia-sia-- pada akhirnya dia masih terjaga.
Amboy berpikir apa yang sebenarnya terjadi sehingga membuat dia terbangun sedini ini, setidaknya pada beberapa malam ini. Pikiran Amboy pun melayang, berpikir, tidak ada masalah yang mengganggu pikiran dan hatinya. Kemudian dia mencoba mengingat-ingat kembali, tidak ada masalah. Apa sih sebenarnya yang terjadi?
Tiba-tiba Amboy dikagetkan dengan 'gerayangan-gerayangan' kecil yang merayap-rayap bebas pada tengkuk lehernya. Hal itu menyebabkan semua bulu kuduknya berdiri. Sontak Amboy pun bangun untuk memastikan apa yang barusan menggerayangi tengkuknya tadi.
'Aish... Dasar kampret !!! Ternyata yang selama ini bangunin gue malem-malem tu eluh ye, emang luh ye, dasar kampret !!! Pantesan kulit gue gatel-gatel !!!'
Terlihat beberapa kutu kupret yang sedang merayap-rayap di atas bantal yang tadi dia tiduri. Bentuknya hitam, berkaki enam, perutnya nampak gendut terisi darah dan jalannya pun terlihat lembon. Amboy pun langsung merapal kata-kata yang dianggap mewakili kekesalannya pada si kupret, lalu dengan sabar menyomoti beberapa kupret lembon itu dan memasukkannya ke dalam botol.
'Hmmmm... Mampus luh !!!'
Dengan puas Amboy tertawa lepas, karena masalah yang membuatnya terjaga sudah diamankan dan disingkirkan ke dalam botol bekas. Namun tetap saja Amboy tidak bisa melanjutkan tidurnya. Kini jam sudah menunjukkan pukul empat. Berarti kumandang fajar segera tiba.
Amboy pun berpikir apa yang akan dia lakukan sembari menunggu fajar. Akhirnya dia menemukan ide untuk menyelesaikan puisi 'Elang' yang kemarin dibuatnya. Dia pun mencari di mana dia meletakkannya. Setelah ketemu diapun merampungkan puisinya.
Elang
Aku Elang bukan Perkutut, makanku daging bukan rumput
Aku Elang bukan Merpati, hidupku melanglang melintang bukan di peti mati
Aku Elang bukan Kenari, pribadiku yang garang tak bisa kau ajak kesana dan kemari
Aku Elang bukan yang lain, mampu menembus lorong labirin
Hidupku bebas hidupku lepas, menjelajah dimensi yang tiada batas
Tubuhku kekar sayapku lebar, hidupku yang sangar tak kan pernah mampu kau jabar
Mataku jernih paruhku tajam, kukombinasikan untuk menikam
Cakarku kuat menjemput nyawa, inilah hidup, satu sama lain mangsa memangsa
Aku bukan burung rumahan, terkurung di sangkar murahan
Aku bebas karena Tuhan, Dia takdirkan diriku untuk menghirup kebebasan
Lihatlah ke atas keangkasa, di sana aku terbang gagah perkasa
Akulah Elang bukan yang lain, yang seenaknya sendiri bisa kau permainin
Akulah Elang
Aku yang garang
Aku pemangsa
Aku perkasa
Elang...
Kemudian di bagian bawah puisinya ia tulis
'Amboy'
[040317]
Kumandang fajar pun menggema di seisi negeri. Amboy yang sedari tadi menunggu fajar pun lekas bangkit berdiri menyucikan hati, pikiran dan perbuatan. Setelah sekian menit bersiap, Amboy siap dengan sarungnya menghadap Pemilik alam semesta.
'Allahu Akbar'
Karya : Fathur Rozak, Alumni Dar Al Tauhid
Langganan:
Postingan (Atom)